Lihat ke Halaman Asli

Albert Magnus Dana Suherman

Albert M. D. Suherman

Memetik Semangat Kebangsaan dari Mendiang Para Tokoh (1/2)

Diperbarui: 11 Juli 2018   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya di sebelah pusara Tuanku Imam Bonjol, Minahasa, Sulawesi Utara. (Dokumentasi pribadi)

Awalnya belum ada niatan untuk saya tuliskan tentang perjalanan ziarah saya ke makam para pesohor negeri. Tetapi dalam prosesnya setelah saya mengunggah foto waktu ziarah di makam Bung Karno di kolom status WhatsApp, seorang teman bertanya pada saya melalui kolom obrolan, "Apa yang lu cari dari perjalanan itu? Kayaknya standar, sejarah!". Pertanyaan ini tendensius mengarah pada diskusi yang panjang, tapi karena sibuknya saya dengan Google Map, sekenanya saya jawab, "Semangat kebangsaan Bro, betapa pentingnya, tapi sering dilupakan." Kemudian teman saya bertanya lagi, "Semangat kebangsaan itu gimana Bro?". Tak lagi saya jawab, karena niscaya jawabannya akan membuka sebuah diskusi panjang. Rasanya belum mau berdiskusi, apalagi lewat kolom obrolan. Ya, saya termasuk orang yang malas berdiskusi panjang lewat kolom obrolan, kecuali untuk mengambil keputusan genting.

Diingat-ingat sudah kali keempat, saya berkesempatan datang berkunjung ke makam pesohor negri. Pengalaman reflektif ini akhirnya saya coba gelar lewat tulisan ini.

Tuanku Imam Bonjol

Kali pertama, pada awal Oktober 2016 saya berkesempatan mengikuti ajang temu Orang Muda Katolik se-Indonesia (IYD 2016) di Manado, Sulawesi Utara. Meskipun statusnya adalah peserta 'nebeng', saya menggunakan kesempatan ini untuk belajar banyak hal. Menyaksikan pertunjukan musik dan tarian tradisional seluruh nusantara, belajar alat musik kolintang, diskusi santai dengan para aktivis muda gereja Katolik, dialog dengan seorang pelaku usaha sukses, dan yang tak mungkin saya lewatkan adalah kesempatan ziarah ke makam Tuanku Imam Bonjol.

Dijemput di Bandara Sam Ratulangi, saya disambut oleh tim transportasi untuk langsung menuju ke salah satu lokasi acara di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Ketika mobil menikung sampai di pintu masuk desa, ada hal yang menurut saya agak aneh. Gapura masuk ke Desa Lotta dibuat dengan gaya arsitektur rumah gadang, ciri khas Minangkabau. Sedang di sebelah kanan gapura berdiri tegap patung Tuanku Imam Bonjol. Mobil terus melaju kedalam desa, namun kepala saya masih terpaku menoleh ke gapura dan patung tadi. Sontak saya bertanya pada Freya, salah satu tim penjemput, "Bang, kok ada patung Imam Bonjol didepan tadi?". Freya menjawab, "Iya Bang, didalam nanti ada makam Imam Bonjol, 50 meter kira-kira dari wisma tempat abang menginap." Saya tak menanggapi jawaban Freya meski dalam hati timbul rencana untuk menyambangi.

Sekilas penglihatan saya, masyarakat Desa Lotta sudah cukup makmur. Kebanyakan rumah-rumah disana adalah bangunan permanen dengan mobil terparkir di garasi rumah. Hampir setiap rumah memiliki kebun kecil di terasnya, ada yang menanam cabai, pepaya, dan lain-lain. Mayoritas penduduk disini beragama Kristen, terlihat dari kebiasaan warga memasang rangkaian korona hijau dipintu-pintu rumah untuk menyambut hari raya Natal. Meski Natal masih 3 bulan lagi, namun menurut pengakuan warga setempat, orang Lotta sudah membuat suasana Natal sejak jauh-jauh hari. Disini mudah sekali ditemukan gereja, kapel, biara, dan sekolah Katolik. Relijius sekali suasananya. Mirip dengan kampung-kampung pesantren di Jawa Timur.

Setelah mandi dan istirahat sejenak di wisma, menggunakan celana jeans panjang dan kaos polo hitam saya berjalan kaki menuju makam Tuanku Imam Bonjol. Kalau dihitung-hitung jarak dari wisma tidak sampai 50 meter, tapi karena jalan yang menanjak, membuat saya cukup berkeringat. Beruntung udaranya segar, jadi berkeringatpun rasanya tetap sejuk. Tiba juga saya pada sebuah komplek makam yang atap bangunannya kental sekali gaya arsitektur Minang. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol seorang Pahlawan Nasional dimakamkan.

Singkat kisah, Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh ulama dari Minangkabau dengan nama kecil Muhammad Syahab atau sering disebut Peto Syarif. Ayahnya adalah alim ulama yang dihormati ditanah kelahirannya, Bonjol. Sebagai putra dari seorang ulama, beliau terdidik di lingkungan yang Islami, menempuh pendidikan di Aceh, kemudian kembali lagi ke tanah kelahirannya. Mengingat kisah beliau, saya teringat kisah Perang Paderi. Kisah panjang perang saudara di tanah Minang pada tahun 1803-1838, antara kaum agamawan (paderi) dengan kaum adat yang sama-sama teguh memperjuangkan nilai. Meski akhirnya kedua kaum sepakat berdamai dan bersatu untuk melawan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial begitu kewalahan dalam menggempur rakyat Minang. Hingga akhirnya, pemerintah kolonial mengundang Tuanku Imam Bonjol untuk berunding. Namun dalam perundingannya, beliau malah ditangkap, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, kemudian ke Ambon, Maluku hingga akhirnya dibawa ke Desa Lotta, Sulawesi Utara dan wafat di desa kecil ini.

Disebelah nisan Imam Bonjol, saya agak kikuk. Bingung harus melakukan apa selain melihat ornamen-ornamen yang dipasang di dinding keramik. Ini kali pertama saya ziarah ke makam seorang tokoh besar yang dikenal sebagai pendakwah, sekaligus pejuang kemerdekaan. Akhirnya saya putuskan untuk duduk dan merenung, kemudian berdoa. Dalam renung dan doa saya mengingat-ingat kembali jasa beliau untuk bangsa, tangguh dalam mempertahankan nilai relijiusitas, jerih payah dalam mengusir pemerintah kolonial, sampai harus menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan. Tak lupa berterima kasih atas jasa beliau, kemudian saya memohon kepada Tuhan agar beliau diberi tempat di surga dan selalu membangkitkan semangat kebangsaan dalam diri kami yang masih berjuang di dunia, untuk senantiasa tegar dalam mempertahankan nilai-nilai positif di masyarakat.

Dalam renung dan doa saya mengingat-ingat kembali jasa beliau untuk bangsa, tangguh dalam mempertahankan nilai relijiusitas, jerih payah dalam mengusir pemerintah kolonial, sampai harus menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan.

Pada hari kedua saya di Lotta, saya bertemu dengan seorang Uskup. Dalam hierarki gereja Katolik, uskup adalah pemimpin umat Katolik tertinggi dalam cakupan wilayah tertentu. Kedudukannya ditunjuk langsung oleh Sri Paus, pemimpin umat Katolik sedunia. Disela perbincangan hangat dengan saya dan rombongan, Bapak Uskup bertanya, "Oh ya, sudah sowan permisi dengan Imam Bonjolkah?". Sontak percaya diri saya menjawab, "Sudah Monsinyur, kemarin." "Ya, ya, harus mohon ijin dulu.", sembari tersenyum Bapak Uskup mengiyakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline