Lihat ke Halaman Asli

Albert Magnus Dana Suherman

Albert M. D. Suherman

Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia: Solidaritas Gerakan dan Beberapa Catatan

Diperbarui: 9 Mei 2017   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Senin di pekan kedua bulan Mei ini, Menko Polhukam Wiranto dalam keterangan persnya di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat mengatakan bahwa “Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”. Setidaknya ada tiga alasan pemerintah yang dipaparkan Wiranto untuk membubarkan HTI. Yang pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilakukan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Kedepannya pemerintah akan memproses tuntutan ini ke ranah hukum.

Solidaritas Gerakan

            Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953 di Yordania ini eksis di berbagai negara, meski tidak sedikit juga negara yang melarang tumbuh kembangnya. Di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendapat pengakuan resmi oleh negara pada tahun 2006 ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak eksistensinya diakui pemerintah, HTI beraktifitas di masyarakat selayaknya gerakan dakwah pada umumnya, hanya yang menjadikannya khas, isu yang diangkat dan selalu menjadi jargon adalah soal menegakkan sistem khilafah atas gagalnya sistem demokrasi. Berbagai aktifitas mulai dari skala kecil seperti halaqah di tingkatan kampus hingga hajat besar seperti Konferensi Khilafah International (KKI) pada tahun 2007 di Gelora Bung Karno, dan Indonesia Congress of Muslim Student (ICMS) tahun 2014, juga kerjasama-kerjasama program dengan pemerintah daerah telah berjalan. Hal tersebut adalah kesempatan yang tepat bagi HTI untuk menebarkan eksistensi dan pahamnya di tengah masyarakat.

            Aktifitas yang dipaparkan diatas ingin menegaskan bahwa pada dasarnya sudah terbangun kekerabatan lahir batin diantara tiap-tiap anggotanya atas rasa ketertindasan dan rasa ketidakadilan sebagai umat Islam yang terus dipojokkan oleh pemerintahan yang zalim (versi HTI). Maka tidaklah mudah bagi pemerintah untuk membubarkan HTI. Karena solidaritasnya, bisa jadi semakin ditekan, semakin memberingaslah gerakan mereka.

Beberapa Catatan

            Pembubaran ini akan menjadi perhatian khusus dari masyarakat terkait pemerintah yang memiliki wewenang dalam mengatur peredaran organisasi masyarakat. Proses hukum yang akan ditempuh nantinya akan menjadi tolak ukur masyarakat terhadap ketegasan pemerintah dalam menanggapi organisasi-organisasi yang dianggap ‘keluar jalur’.

            Ada beberapa catatan menjelang dibukanya kasus hukum ini. Pertama, akan timbul kesan dari sekelompok masyarakat bahwa pemerintah telah memenjarakan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat. Untuk itu pemerintah harus ekstra hati-hati dalam melancarkan tuntutannya di meja hijau nanti. Fakta-fakta dari ketiga alasan pemerintah diatas haruslah konkrit dan tidak mengada-ada. Pemerintah jangan sampai menyalahgunakan wewenangnya semata-mata hanya untuk kepentingan politis apalagi untuk melindungi kekuasaan. Kedua, semisal HTI di persidangan nanti terbukti ‘keluar jalur’ dan harus dibubarkan, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan diluar batas kemanusiaan. Pastinya kita berharap tidak akan lagi terulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi dibalik pembubaran DI/TII, pemberantasan PKI, tragedi Tanjung Priok, dsb. Karena (sekali lagi) jika memang nanti HTI secara organisasi terbukti bertentangan dengan tujuan dan azas negara kemudian diharuskan bubar, anggota dan simpatisannya masih memiliki hak untuk hidup dan berwarga negara. Ketiga, pembubaran HTI bukan berarti pembubaran ideologi. Secara administratif dihadapan pemerintah, aktifitas mereka seperti terhenti. Tetapi dalam tatanan internal mereka (HTI) akan kembali membangun kekuatan diatas pondasi-pondasi yang telah lama mereka bangun, dan suatu saat nanti akan timbul kembali ke permukaan dengan format yang ‘mungkin’ berbeda namun dengan spirit, dan visi misi yang sama. Atau malah sempalan-sempalannya akan menjadi ‘gerakan gorong-gorong’ yang sifatnya ekstrim dan radikal hingga mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Refleksi

            Telah berakhir Pilkada DKI 2017, meski hingar bingarnya masih terasa terkait kasus dugaan penistaan agama, situasi masyarakat sedikit adem. Sekarang muncul lagi rencana pembubaran ormas keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia oleh pemerintah. Wacana politik dan agama secara beruntun menguji Republik ini. Seakan menguji sampai dimana integrasi nasional yang dibangun diatas indahnya perbedaan dapat dipertahankan. Sekarang kita haruslah bersikap, menghormati proses hukum yang akan berjalan dengan tak lengah mengawal seluruh proses dinamika persidangan. Kemudian sembari bercermin, jangan-jangan kita yang merasa paling Pancasila, malah tidak pernah mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Jangan-jangan kita yang merasa paling beragama, malah tidak pernah menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline