Lihat ke Halaman Asli

Hiburan > Fiksi Lotus: Dilema Sang Komandan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

* Untuk fiksi pendek klasik lainnya, kunjungi FIKSI LOTUS. Selamat membaca! ---------------

 

[caption id="attachment_116001" align="alignleft" width="171" caption="Soldier Oliver, Greenbarg"][/caption]

Stephen Crane

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” pekik Sang Ajudan dengan nada tinggi, seraya menampakkan ekspresi kalut. “Kubur dia,” kata Timothy Lean. Kedua prajurit menundukkan kepala dan menatap ke arah sepatu mereka masing-masing di mana tubuh seorang komandan tergeletak mati. Wajah komandan itu biru seperti kapur barus, dengan sepasang mata masih terbuka, menatap jauh ke angkasa. Di atas kepala kedua prajurit ini, angin menghantarkan desing peluru dari kubu lawan yang kemudian dibalas oleh pasukan infantri asal Spitzbergen* di bawah kepemimpinan Timothy, dalam posisi telungkup di atas tanah, punggung menghadap matahari. “Tidakkah menurutmu lebih baik kita—” Sang Ajudan mulai angkat suara. “Sebaiknya kita tinggalkan dia di sini sampai besok.” “Tidak,” kata Timothy. “Aku tidak bisa mempertahankan posku di sini bahkan untuk sejam saja. Aku harus menggiring pasukanku mundur, dan kita harus memakamkan Bill sekarang.” “Tentu saja,” kata Sang Ajudan tiba-tiba. “Pasukanmu bawa alat-alat penggali selokan?” Timothy berteriak ke arah barisan pasukannya yang hanya sedikit, dan dua prajurit pun berlari menuruni bukit sambil membawa sekop dan kapak. Mereka bergerak ke arah para penembak jitu asal Rostina*. Desing peluru memekakkan telinga mereka. “Gali di bagian sini,” perintah Timothy kepada anak buahnya. Kedua prajurit tadi buru-buru merendahkan kepala mereka, menatap tanah tempat kaki mereka berpijak, mendadak ingin cepat menyelesaikan pekerjaan karena takut berada dekat-dekat dengan tempat di mana peluru-peluru itu ditembakkan. Suara dentuman kapak yang menghantam tanah terdengar tumpul dibandingkan tajamnya desing peluru di sekitar mereka. Sementara prajurit yang membawa sekop pun mulai menggali. “Mungkin—” kata Sang Ajudan pelan, “—sebaiknya kita menggeledah pakaiannya, siapa tahu ada barang-barang berharga.” Timothy mengangguk. Penasaran, keduanya pun melayangkan tatapan ke arah mayat komandan mereka. Lalu Timothy menggoyangkan pundaknya, seolah mengumpulkan keberanian. “Benar,” sahut Timothy, “sebaiknya kita menggeledah dia.” Akhirnya, Timothy jatuh berlutut. Kedua tangannya mulai mendekati mayat sang komandan, meski hanya berani menggerayangi kancing-kancing seragamnya. Kancing pertamanya dilapisi oleh darah kering berwarna merah seperti batu bata, dan dia tidak berani menyentuhnya. “Teruskan,” kata Sang Ajudan dengan suara serak. Timothy mengulurkan tangannya yang kaku, sementara jarinya mulai membuka kancing-kancing berlumuran darah kering tadi. Satu demi satu. Akhirnya, dia bangkit berdiri dengan wajah pucat. Dari pakaian sang komandan, ia telah berhasil menyita sebuah jam tangan, periwitan, pipa rokok, kantung tembakau, sapu tangan, kartu permainan, dan beberapa lembar kertas. Ia menatap ke arah Sang Ajudan—sunyi menyelimuti mereka. Sang Ajudan kini merasa sebagai pengecut karena membiarkan Timothy melakukan semuanya seorang diri. “Nah,” kata Timothy. “Rasanya cuma itu yang ada di pakaiannya. Kamu sudah pegang pedang dan senjata apinya ‘kan?” “Ya,” kata Sang Ajudan, wajahnya berkerut, sebelum tiba-tiba menyemprot kedua prajurit pasukan Timothy yang sedang bekerja keras menggali lubang dengan amarah besar. “Lama sekali, sih? Kalian ngapaian saja dari tadi? Cepatlah. Belum pernah kulihat orang sebodoh—” Bahkan ketika Sang Ajudan meneriakkan perintahnya, kedua prajurit yang tengah menggali kuburan itu sedang berjuang untuk bertahan hidup. Desing peluru yang berseliweran semakin tajam memekakkan telinga. Liang kubur itu pada akhirnya selesai juga digali. Memang tidak sempurna—justru tampak lebih seperti kolam cetek. Timothy dan Sang Ajudan kembali saling bertukar tatapan, berkomunikasi tanpa bertutur. Mendadak, Sang Ajudan meletuskan tawa aneh. Tawa yang disebabkan oleh perasaan grogi. “Well,” katanya kepada Timothy dengan nada bercanda. “Kurasa sebaiknya sekarang kita gulingkan mayatnya.” “Ya,” kata Timothy. Kedua prajurit yang baru saja selesai menggali liang kubur berdiri menunggu dengan tubuh agak bungkuk, siap menggulingkan komandan-nya komandan mereka. “Kurasa juga begitu. Lebih baik kita sendiri yang menggulingkannya.” “Benar,” kata Sang Ajudan. Lalu, teringat akan tugas berat yang tadi dijalankan Timothy memeriksa pakaian sang komandan, ia berusaha sekuat tenaga menggenggam bagian dari pakaian sang komandan (supaya terlihat tak kalah berjasa). Timothy pun ikut melakukan hal yang sama. Keduanya sangat hati-hati agar jari-jemari tangan mereka tidak bersentuhan dengan kulit mayat. Mereka menarik bagian dari pakaian sang komandan; mayat itu pun terangkat, terbanting, terguling, dan terjerembab ke dalam liang kubur; dan baik Sang Ajudan maupun Timothy kembali melempar tatapan ke arah satu sama lain, seraya meluruskan tubuh. Setelah itu mereka menarik napas lega. Kata Sang Ajudan, “Kurasa sekarang kita harus mengatakan sesuatu. Apa kamu hafal bait-bait doa pemakaman, Tim?” “Biasanya doa itu tidak diutarakan sampai liang kuburnya telah ditimbuni tanah,” jawab Timothy, menekan bibirnya agar terlihat lebih pintar, seperti seorang akademis. “Masa?” tanya Sang Ajudan, kaget dan kesal karena telah kepergok salah. “Oh, kalau begitu, sebaiknya kita tetap mengatakan sesuatu—selagi dia bisa mendengar kita.” Timothy sangat sangsi. “Aku bisa mengatakan dua baris doa, tapi—” “Lakukan saja,” dorong Sang Ajudan. “Lakukan sebisamu, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mengatakan apapun. Apalagi musuh kita sekarang sedang sibuk membidik kita dari jauh.” Timothy menatap ke arah dua prajuritnya. “Siap grak!” gonggongnya tegas. Dalam sekejap kedua prajuritnya mengambil posisi tegap, dengan ekspresi lebih cemas, takut mati. Sang Ajudan menurunkan helm yang dipakainya, sementara Timothy yang tidak mengenakan helm sama sekali berdiri di atas liang kubur. Penembak dari kubu Rostina mulai meluncurkan serangan lagi. “Oh Tuhan Yang Maha Esa,” Timothy memulai doanya dengan asal-asalan. “Teman kami kini telah terpuruk ke dalam lembah kematian, namun rohnya telah naik menuju kerajaan-Mu seperti gelembung air yang mengudara dari bibir orang yang tenggelam. Lihatlah, ya Tuhan, kami mohon, gelembung air yang terbang itu, dan—” Meski berdoa dengan nada rendah dan malu, Timothy tidak sekalipun tampak ragu sampai pada titik ini, di mana ia mendadak berhenti dan menatap ke arah mayat yang terjerembab dalam liang kubur dengan perasaan putus asa. Sang Ajudan bergerak di posisinya sendiri, tidak nyaman. “Dan dari ketinggian-Mu,” ia melanjutkan doa Timothy, juga dengan asal-asalan. “Dan dari ketinggian-Mu,” kata Timothy. Sang Ajudan tiba-tiba mengingat sebuah frase yang pernah ia dengar di acara pemakaman salah seorang penduduk Spitzbergen, dan ia mengutarakan frase ini seolah ia berhasil mengingat seluruh bait doa. “Ya Tuhan, ampunilah—” “Ya Tuhan, ampunilah—” kata Timothy. “Ampunilah,” ulang Sang Ajudan, yang tidak sanggup melanjutkan, karena tidak tahu harus menambahkan frase apa lagi. “Ampunilah,” kata Timothy, yang kemudian tergerak oleh perasaan tidak enak dan akhirnya memutar badan ke arah kedua prajuritnya seraya memberi perintah baru: “Timbuni liang kubur ini.” Tembakan pasukan Rostina masih terus berlangsung dan semakin jitu. Salah satu prajurit Timothy melangkah maju sambil menenteng sekop. Ia mengangkat undukkan tanah merah ke atas sekop dan untuk sesaat tertegun menatap mayat di dalam liang kubur. Lalu, sang prajurit menumpakah tanah merah itu ke atas … kaki mayat sang komandan. Timothy Lean merasa seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Tadinya ia khawatir prajuritnya akan menumpahkan tanah merah ke atas wajah komandannya yang telah mati. Tapi justru prajuritnya menumpakah tanah merah ke atas kaki sang komandan. Sang Ajudan pun mulai meracau. “Tentu saja—bagi seorang komandan yang selama ini telah kita anggap sebagai saudara—tidak mungkin—kita tidak bisa meninggalkan teman-teman kita membusuk begitu saja di medan perang. Lho kok berhenti? Ayo, sekop terus.” Prajurit yang membawa sekop tadi mendadak menunduk, menggenggam lengan kirinya dengan tangan kanan, dan menatap ke arah Timothy, menunggu perintah berikutnya. Timothy mengambil sekop yang terjatuh. “Sana, kembali ke atas bukit,” perintahnya kepada prajurit yang terluka. Lalu, ia juga berkata kepada prajurit lainnya. “Kamu juga cari perlindungan; biarkan aku yang menyelesaikan urusan ini.” Prajurit yang terluka lari terbirit-birit ke atas bukit tanpa menatap ke belakang sekalipun; sementara prajurit lainnya berlari dengan kecepatan sama menuju tempat yang sama juga—walau, anehnya, prajurit yang tidak terluka sempat menoleh ke belakang sebanyak tiga kali. Inilah yang membedakan antara mereka yang tertembak dan tidak tertembak dalam situasi perang. Timothy memenuhi sekop dengan tanah merah, tertegun sesaat, dan dengan gerakan penuh kebencian, ia melemparkan tanah merah tadi ke dalam liang kubur. Saat mendarat di dasar liang, tanah tadi mengeluarkan suara—plop. Timothy mendadak berhenti dan mengusap alis matanya bak buruh kelelahan. “Mungkin kita salah perkiraan,” kata Sang Ajudan. Pandangan matanya tampak bodoh. “Mungkin sebaiknya kita tidak memakamkan dia saat ini juga. Tentuya, kalau kita maju lagi besok, tubuhnya pasti sudah—” “Aaaah, sial,” kata Timothy. “Tutup mulutmu sekarang juga.” Lagipula Sang Ajudan bukan seorang petugas senior. Sekali lagi, Timothy memenuhi sekop dan membuang tanah merah ke dalam liang kubur. Setiap kali, terdengar suara itu lagi—plop. Untuk sesaat, Timothy bekerja tanpa henti, seperti seseorang yang sedang menggali tempat persembunyian. Akhirnya, tak ada bagian dari mayat sang komandan yang tak tertimbun tanah kecuali wajahnya yang biru seperti kapur barus. Timothy kembali memenuhi sekopnya. “Ya ampun,” teriaknya kepada Sang Ajudan. “Kenapa tadi kamu tidak memutar badannya saat menggulingkan dia? Sekarang, kalau begini—” Timothy mulai gugup, terbata-bata. Sang Ajudan mengerti. Bibirnya pun berubah pucat. “Sudah lanjutkan saja,” katanya memohon, hampir berteriak. Timothy mengayunkan sekopnya ke depan, seperti goyangan bandul pendulum. Saat tanah merah itu terlempar ke dalam liang kubur, terdengar suara yang sama—plop. ———————————- Keterangan: * Spitzbergen dan Rostina adalah dua negara fiksi hasil imajinasi penulis. ** Karya ini bertajuk THE UPTURNED FACE, milik seorang sastrawan Amerika Serikat, bernama Stephen Crane, yang pertama kali diterbitkan di tahun 1900. *** Stephen Crane meninggal di usia 28 tahun di tahun yang sama cerita pendek ini diterbitkan. Ia dimakamkan di New Jersey, AS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline