Baru-baru ini sedang ramai diperbincangkan terkait Rancangan Undang Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2023. Semua organisasi profesi kesehatan sepakat menolak adanya RUU ini, termasuk diantaranya adalah organisasi profesi perawat: PPNI.
Mengapa?
Secara harfiah, omnibus law artinya hukum untuk semua. Teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi (Yasin, 2020). Karena dengan metode omnibus law ini, beberapa undang-undang dapat dipangkas menjadi satu undang-undang yang berlaku, dengan konsekuensi adanya kemungkinan pasal-pasal lama dalam UU diubah atau bahkan dihapus sebagai dampak penyatuan itu.
Saat ini, setiap organisasi profesi di Indonesia memiliki undang-undang yang menjadi payung hukum atas tanggung jawab yang diemban masing-masing, seperti dokter dengan UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perawat dengan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan bidan dengan UU Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan. Ketika setiap profesi memiliki UU yang berlaku dan telah berjalan harmonis, perlu kah disusun UU baru yang mengatur seluruh kehidupan profesi di dalamnya?
Perjuangan Panjang Lahirnya Undang-Undang Keperawatan
Undang-Undang Keperawatan yang telah disahkan pada 25 September 2014 bukan lah peraturan yang tiba-tiba muncul. Pasalnya, sejak 1989, pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi keperawatan secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan, dan penelitian keperawatan serta kehidupan keprofesian mulai tumbuh (Hamid, 2014). Hasil kajian yang dilakukan oleh Prof. A.A. Loedin dan Prof. Herkutanto yang diutus oleh CHS (Contortium of Health Science), Departemen Kesehatan, dan WHO, menyebutkan bahwa pada saat itu tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk keperawatan sebagai profesi di Indonesia. Salah satu rekomendasi dari kajian tersebut adalah penting adanya Undang Undang Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan sebagai profesi sekaligus sebagai perlindungan kepada masyarakat (Hamid, 2014).
Pada tahun 1992, Undang Undang No. 23 tentang Kesehatan disahkan. Dalam Undang Undang tersebut, terdapat pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi dengan keahlian yang dipersyaratkan untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai dengan ilmu keperawatan. Kemudian pada tahun 1998, diadakan pertemuan antara Dr. Farinaz Parsay sebagai konsultan WHO didampingi oleh konsultan nasional keperawatan dan kebidanan. Pada pertemuan itu menghasilkan sepuluh sasaran, diantaranya adalah "adanya sistem regulasi untuk pendidikan dan praktik keperawatan dan kebidanan untuk melindungi masyarakat" (WHO, 1998; Hamid, 2014).
Pada tahun 2000, Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan. Bersama Biro Hukum dan Organisasi serta Unit Depkes terkait, Direktorat Keperawatan didukung oleh WHO menyusun rancangan awal UU Keperawatan dengan konsultan WHO, Dr. Tassana Bontoong. Pada tahun 2005, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik Kebidanan dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional dengan urutan 160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009 (Hamid, 2014).
Hingga tahun 2008, RUU Keperawatan tidak kunjung masuk pembahasan. Padahal UU tersebut sangat dibutuhkan oleh perawat di negeri ini. Pasalnya, Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services untuk 10 (sepuluh) negara ASEAN yang telah ditandatangani 8 Desember 2006 di Cebu, Filipina memiliki dampak signifikan terhadap pengakuan perawat Indonesia di negara lain. Jika di tahun 2010 belum ada "credentialing system" karena belum adanya UU Keperawatan yang mengatur, perawat Indonesia tidak diakui untuk bisa bekerja di negara lain, sedangkan perawat asing akan bisa masuk bebas ke Indonesia tanpa melalui sistem uji kompetensi yang ditentukan oleh Indonesia (Hamid, 2014).
PPNI mengambil langkah cepat. Rapat Pimpinan Nasional PPNI di Semarang pada tahun 2008 memutuskan untuk melakukan aksi nasional agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR RI. Serangkaian lobby dan aksi simpatik dilakukan baik oleh insan perawat maupun para mahasiswa dengan satu tujuan, bahwa RUU Keperawatan harus disahkan. RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014 dan mengantarkan RUU Keperawatan disahkan menjadi Undang Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan pada tanggal 25 September 2014 (Hamid, 2014). Lima tahun berselang, terbit Peraturan Pelaksana UU No. 38 Tahun 2014 yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 yang ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 2019.