Ada beberapa inbox masuk di FB saya, bertanya tentang kapan naik gunung lagi? Atau kapan saya buka lagi jasa pemandu gunung? Pertanyaan yang merobek-robek sanubari pendaki gunung ini, membuat saya cukup lama memandang kursor yang berkedip-kedip ganjen menunggu saya menuliskan jawaban.
Kegiatan yang paling saya rindukan selama mengikuti anjuran pemerintah untuk "stay at home" adalah menghirup udara pegunungan. Menghitung detak jantung yang berdetak semakin kencang bila melewati tanjakan (ga separah kalo ketemu mantan emang sih). Dan dapat bonus honor dari memandu para customer yang minta diantar ke puncak demi konten atau foto bagus di Instagram.
Atau pura-pura ikut panik kalau ada customer yang tiba-tiba kelelahan atau putus semangat untuk lanjut perjalanan (honor ga pake dipotong kalo ga sampe puncak, itu asyiknya). Kadang-kadang juga harus jadi pemandu gaya, photographer dadakan bahkan jadi chef.
Ketika ada pengumuman bahwa kegiatan outdoor akan mulai dibuka pada bulan Juli 2020, APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) sebagai salah satu wadah para pemandu gunung mulai membuat beberapa aturan pendakian dalam masa New Normal. Salah satu aturan wajib yang diterapkan adalah memakai masker, membawa hand sanitizer, pengecekan kesehatan lebih ketat dan wajib membawa surat kesehatan bebas covid 19.
Tetapi permasalahan bukan hanya pada kepatuhan dalam menggunakan protokol kesehatan saja. Yang juga harus dipertimbangkan adalah bagaimana cara pendakian, saat di area perkemahan dan saat turun pendakian. Ini yang betul-betul harus dipersiapkan.
Bagaimana tidak menjadi penting, kegiatan outdoor semenjak tahun 2000an menjadi sebuah kegiatan favorit yang banyak digemari oleh semua kalangan. Pendakian ke sebuah puncak gunung tidak bisa dibilang sebuah perjalanan pertapaan yang sepi, sepanjang jalan kita bisa merenung menikmati alam, tetapi sudah seperti kita berkunjung ke mall, saking ramainya. Dan ini artinya resiko tinggi terjadi penularan Covid 19.
Hal yang bisa terjadi adalah penumpukan pendaki di pos pelaporan dan registrasi, pos peristirahatan, atau bahkan di puncak, dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepadatan di perkemahan yang tentu saja akhirnya menimbulkan kerumunan.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi alam bebas. Bisa saja terjadi salah satu pendaki mengalami hipotermia atau tiba-tiba demam karena kelelahan, dan kita tidak tahu apakah si pendaki seorang OTG (Orang Tanpa Gejala) atau bukan. Kita tidak bisa begitu saja melakukan pertolongan tanpa menggunakan standar penangan virus yang ditetapkan pemerintah. Jadi ceritanya, bukan pulang membawa kenangan tetapi pulang membawa corona.
Sehingga, bila memang harus melakukan pendakian karena sudah tidak kuat menahan kerinduan berjalan di ketinggian, persiapan harus lebih matang dari yang biasa dilakukan. Persiapan yang mungkin membantu kita untuk menikmati keindahan alam tanpa takut tertular atau menularkan covid 19.
Persiapannya antara lain, tentukan gunung mana yang akan dituju. Transportasi apa yang akan kita gunakan ke tujuan, serta apakah tempat tersebut telah menerapkan protokol kesehatan atau belum. Selanjutnya persiapkan fisik dan mental. Lakukan latihan fisik sebelum pendakian, juga pengecekan kesehatan sangat dianjurkan.
Persiapkan peralatan pendakian yang mumpuni, tidak rusak dan bukan barang pinjaman. Kalaupun terpaksa menyewa di rental, minimal lakukan sterilisasi sebelum digunakan. Bawa sendiri alat masak, dan alat makan tentu saja. Logistik yang cukup, yang dihitung dengan tepat berapa kalori, protein serta bahan lain yang diperlukan oleh tubuh.