Lihat ke Halaman Asli

Belajar Bela Rasa

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada gedibal, tak ada jendral. Maksudnya, jika tak ada rakyat kecil, mana ada pimpinan? Dengan kata lain, sebenarnya rakyatlah yang menjadikan seseorang pemimpin...Kutipan ini pendek , namun sarat akan makna atau bernas. Pesan moral yang tersurat, dalam kutipan ini sangatlah relevan dengan kondisi sosial politik negara kita tercinta, Indonesia. Ya, beginilah gaya bertutur MonsieurRerasan. Setiapkali mengungkapkan isi hati dan pikirannya, Rerasan selalu melontarkan sentilan, sindiran, hingga banyolan. Rerasan adalah tokoh sentral dalam buku ini yang berpembawaan tenang dan selalu berusaha menghidupkan semangat bela rasa pada sesama. Semangatnya yang semakin hari kian langka dijumpai dan dirasakan karena kita tengah dijangkiti krisis keteladanan. Sebagian besar pemimpin yang dipilih rakyat bukannya memberikan contoh yang mulia, namun malah bersikap pongah, serakah, dan mendewakan meteri sebagai berkah. Segala ekspresi kebahagiaan, kegelisahaan, dan rasa syukur MonsieurRerasan dituangkannya dalam torehan tulisan yang kemudian dikumpulkan dalam buku ini. Kumpulan tulisannya sangatlah inspiratif. Boleh dibilang, gaya penuturan Monsieur Rerasan benar-benar ringan. Layaknya, wong cilik atau rakyat jelata menyuarakan suara hatinya yang tercekat akibat situasi sosial dan terus menggunungnya harga kebutuhan bahan pokok. Monsieur Rerasan juga rakyat kecil. Ia berdialog dengan orang-orang disekitarnya serta mengajak siapa pun untuk mengasah kepekaan dan membuka "kaca mata kuda" yang entah sadar atau tidak, kita selalu mengenakannya. Banyak nilai-nilai kearifan yang bisa dipetik dari kumpulan coretan pena Monsieur Rerasan ini. Salah satunya, ia menggugah kita supaya jangan terjebak dalam perilaku mau menang sendiri dan memntingkan diri sendiri. Dengan gayanya yang kalem, ia berujar, "Setiap orang juga dikomando dengan aba-aba, tetapi komando itu nurani namanya. Nurani membisik untuk bisa melihat bahwa perbedaan adalah kenyataan hidup yang paling konkret." Nah permasahannya, apakah kita sudah menjadi manusia yang bernurani dengan menghargai perbedaan ataukah kita justru menjadi manusia bertirani yang meniadakan perbedaan? Penulis : Bakdi Soemanto Penerbit : Galangpress Kategori Buku : Sastra Tahun Terbit : 2011 ISBN : 978-602-8174-70 Ukuran : 15 x 23 cm Tebal : 326 halaman Harga : Rp 63.000,-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline