Lihat ke Halaman Asli

Jilbab Cinderella

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14308776781909047372

“Emm.. maukah kau mengajariku ngaji?”

Ini kali pertama aku membuka mulut untuk bicara padanya. Ayah dan perempuan itu saling menatap heran melihat tingkah tak biasaku. Begitupun dengan dua gadis yang sedang duduk bersama kami.

“Kenapa gak dijawab? Gak mau ya?”

Pertanyaanku selanjutnya. Meski hampir setahun hidup bersama, tapi tak pernah sekalipun aku menganggap mereka sebagai keluarga.

***

Malam itu adalah malam yang benderang. Bukan karena binarnya gemintang ataupun rembulan. Tapi gemerlap lelampu yang menghias rumahku. Sebuah pesta yang dihadiri oleh berbagai kalangan. Dari orang desa sampai orang kota. Dari orang biasa sampai wali kota. Juga malam yang mengukir senyum bagi semua orang terutama ayah. Tapi tidak bagiku.

“Cinderella, kemarilah sayang.”

Cinderella. Entah mengapa dulu ibu memberiku nama seperti itu saat aku lahir. Pasti setelah ini nasibku pun akan sama, karena semua ibu tiri itu jahat.

Akupun beranjak dari tempat duduk karena panggilan ayah dan terpaksa menyalami perempuan itu. Perempuan yang aku benci, bahkan sangat benci. Ah.

***

“Tentu saja mau, Cindy. Mulai kapan?”

“Bakda salat Isya’, gimana?”

Tanyaku dalam tunduk tanpa memandang wajahnya. Sedangkan ayah dan kedua kakak tiriku hanya diam dan sibuk mengunyah santapan makan malam. Selama ini aku menganggap sikap mereka hanya berpura-pura baik dan mencari perhatian ayah. Ditambah jilbabnya yang lebar menjulur hingga ke bahu merupakan kedok agar ayah mempercayainya.

“Baik.” Jawabnya singkat tapi tetap santun.

Ibu dan saudara tiri itu selalu dan pasti jahat. Pikiran dan hatiku sudah terkunci dengan kalimat tersebut. Setiap apa yang mereka lakukan selalu kuanggap salah. Apalagi saat perempuan itu menyuruhku atau memberiku sesuatu, pasti aku tolak. Karena aku bukanlah Cinderella dalam negeri dongeng.

Namun setelah kejadian semalam, pikiranku berubah. Hatiku terguguh karena suara yang begitu syahdu. Suara perempuan yang sedang melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan indah. Fashih, shorih, dan tartil. Perempuan sahaja di altar sajadah serta berbalut mukenah. Perempuan yang tengah berdialog dengan Tuhannya saat semua terlelap dalam tidur. Ah, perempuan yang sempat aku sangat membencinya.

Usai salat Isya’ berjamaah, perempuan itu mengajariku ‘tuk mengeja ayat-ayat al-Qur’an. Dia menuntunku dengan penuh kesabaran. Sejak kepergian ibu, aku jarang sekali dan hampir tak pernah membuka kitab suci. Beberapa jenak kemudian aku menghentikan bacaan karena sesuatu jatuh di pipiku. Air mata.

“Maafkan aku, Bunda. Maafkan aku juga, Kak Ula dan Kak Tsani.”

Untuk pertama kalinya aku memanggil “Bunda” dan “Kak” pada mereka. Aku memeluk mereka satu persatu. Saat itu kami masih berkumpul di ruang sholat. Wajah ayah terlukis bahagia. Akupun berjanji, mulai besok akan mengenakan jilbab saat ke sekolah. Jilbab pemberian ibu tiriku yang pernah kutolak sebulan lalu.

Sungguh, tak pernah kurasakan kebahagian seperti ini. Kau panggil aku dengan cinta-Mu melalui wanita yang paling kubenci (dulu). Mungkin jika dia tidak hadir mengisi lembaran hidupku, aku takkan mengenal-Mu meski kutahu siapa sesungguhnya Engkau. Indah nian rahasia-Mu.

*Tulisan ini dibukukan dalam antologi “Ketika Cinta Memanggil #1” oleh Penerbit Asrifa


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline