Lihat ke Halaman Asli

126.000 Dokter di Indonesia Selama Ini Menerima Gratifikasi dari Industri Farmasi

Diperbarui: 5 Februari 2016   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Foto: www.bijaks.net"]

[/caption]Pada tanggal 2 Februari 2016 lalu, di media massa nasional, Antara memuat sebuah berita yang berjudul “KPK Cegah Konflik Kepentingan Dokter - Perusahaan Farmasi”. Inti dari berita tersebut adalah sebuah gambaran bahwa selama ini, banyak dokter yang mempunyai hubungan tertentu dengan perusahaan farmasi.

Telah menjadi rahasia umum sebenarnya hal itu, namun ketika KPK yang bicara, tentu bukan hal yang biasa. Artinya, hubungan antara dokter dan perusahaan farmasi selama ini mempunyai unsur korupsi. Jika tak ada unsur itu, tentu KPK tak akan bicara demikian. Rahasia umum dikalangan publik, bahwa dokter kerap memberikan resep dengan merk obat tertentu.

Tapi yang diungkap oleh KPK kali ini bukan semata soal perdagangan obat, tapi juga soal larangan menerima sponsorship dari perusahaan farmasi. KPK membuat aturan larangan tersebut, karena menilai bahwa sponsorship tersebut adalah bentuk gratifikasi yang diterima dokter. Gratifikasi, salah satu bentuk dari korupsi.

Tak tanggung-tanggung jumlah dari dokter yang selama ini menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi. Ada sebanyak 126.000 dokter di Indonesia. Bentuk gratifikasinya adalah menyediakan transportasi dan akomodasi bagi para dokter untuk mengikuti seminar-seminar kedokteran di berbagai belahan dunia. Kebanyakan terselenggara di Amerika dan Eropa. Bisa sekaligus jalan-jalan liburan tentunya.

Hal itu disampaikan langsung oleh Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta. Menurutnya gratifikasi sponsorship tersebut mengandung nilai-nilai conflict of interest, disaat dokter memberikan resep kepada pasiennya. Tentu resep yang diberikan adalah produk obat dari perusahaan farmasi tertentu yang memberikan sponsor kepada si dokter.

Lebih gila lagi, KPK mengatakan bahwa praktek tersebut telah terjadi dan berlangsung selama puluhan tahun dan tak pernah ada larangannya. Kenapa dokter melakukan itu? Tentu tak semata salah si dokter, lembaga-lembaga kesehatan juga memiliki peran dan kontribusi atas tindakan tersebut. Sementara, sudah pasti pasien yang akan menjadi “korban” dari tindakan gratifikasi-korupsi.

Bayangkan saja, untuk tetap bisa membuka praktek dalam waktu 5 tahun, seorang dokter harus memiliki kredit sebanyak 250. Sebuah kredit profesi, dimana seorang dokter harus mengumpulkan sebanyak 250 kredit profesi.

Dari sebuah seminar yang diikuti oleh seorang dokter, maka dokter akan dapat mengumpulkan 3 sampai 5 poin kredit. Sehingga seorang dokter dapat mengikuti seminar berkali-kali untuk dapat mengumpulkan kredit tersebut.

Terdapat 126.000 dokter di Indonesia, dan setiap dokter membutukan 30 juta rupiah per tahun dikali 5 tahun, dan itulah biaya yang dibutuhkan untuk dapat melanjutkan prakteknya. Jadi total uang yang beredar karena keharusan-keharusan tersebut adalah sebanyak Rp 18.900.000.000.000,- (18,9 triliun rupiah per lima tahun).

Angka yang luar biasa. Sementara jumlah anggaran kesehatan untuk Indonesia pada tahun 2015 sebesar 47,4 triliun, untuk 250 juta orang di Indonesia. Sialnya, selama ini kalangan kesehatan selalu berteriak-teriak bahwa anggaran kesehatan kita sangat rendah, sementara jumlah uang yang beredar akibat dari kepentingan dokte dan farmasi mencapai 18,9 triliun rupiah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline