Lihat ke Halaman Asli

Karya Pemuda

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini diterbitkan di opini koran Republika hari ini (28/10/2010). Tulisan ini juga didedikasikan buat teman-teman Pelajar Mahasiswa Indonesia di seluruh dunia.
http://koran.republika.co.id/koran/24
Kamis, 28 Oktober 2010 pukul 10:40:00


Ali Rama
(Sekjen Persatuan Pelajar Indonesia di Malaysia)

"Kami putra putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Kalimat tersebut di atas adalah teks Sumpah Pemuda yang dibacakan oleh pemuda Indonesia dalam kongres pemuda, 28 Oktober 1928, di Batavia. Ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa ini merupakan komitmen bersama untuk menyinergikan seluruh gerakan pemuda di Indonesia pra-kemerdekaan RI.

Keanekaragaman gerakan pemuda pada saat itu yang direpresentasikan dengan munculnya berbagai organisasi kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, pemuda Betawi, serta Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang sifatnya nonkedaerahan ternyata bisa bersatu bersama tanpa melihat perbedaan agama, suku, dan bahasa yang 17 tahun kemudian bisa menghasilkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sumpah pemuda adalah fakta sejarah bahwa semua elemen bangsa bisa bersatu tanpa ada rasa egoisme keagamaan, kesukuan, dan keintelektualan dalam bingkai Bineka Tunggal Ika. Prof Dr Sidek Baba, guru besar di International Islamic University Malaysia, dalam sebuah kuliah umum di KBRI Kuala Lumpur beberapa hari yang lalu mengungkapkan, meskipun Indonesia terdiri atas berbagai suku, bangsa, dan budaya, mereka mampu hidup secara damai dalam satu tanah air, bangsa, dan bahasa. Malaysia, meskipun saat ini menggunakan slogan satu Malaysia, tetapi masih belum bisa menjadikan bahasa melayu menjadi satu-satunya bahasa yang dipakai dalam acara formal mapun nonformal.

Dalam lingkup pendidikan, misalnya, hampir semua tingkat pendidikan sudah tidak menggunakan buku-buku teks berbahasa melayu.
Keanekaragaman Indonesia sudah tidak tepat lagi dilihat dalam bingkai potensi konflik, tapi mestinya dilihat sebagai potensi yang harus disinergikan dalam menopang pembangunan Indonesia.

Keanekaragaman itu harus dikanalisasi sesuai dengan kapasitas dan potensinya. Dengan demikian, setiap indvidu bisa berkontribusi secara maksimal sesuai dengan potensi dan kapasitas keunggulannya.
Pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia dalam situasi keanekaragaman ini adalah yang punya kemampuan sebagai solidarity maker. Ia bisa menjadi perekat bagi semua elemen bangsa dan mengaryakan mereka sesuai bidang kemampuannya.

SBY sebagai presiden RI saat ini memang sudah punya kemampuan merangkul berbagai partai politik, baik di tingkat eksekutif maupun di legislatif, tapi itu terlihat cenderung bersifat politis dan pragmatis. Akibatnya, kebersamaan itu belum bisa menghasilkan capaian-capaian besar dalam bidang ekonomi, politik, hukum, reformasi biokrasi, dan sektor-sektor lain. Ternyata, kebersamaan yang dibangun tidak produktif.

Peran pemuda

Salah satu potensi yang belum termobilisasi dan tersinergikan adalah peran pemuda. Salah satu contohnya adalah lembaga keorganisasian pelajar/mahasiswa, baik yang ada di dalam maupun luar negeri.

Akibatnya, organisasi pelajar/kemahasiswaan cenderung memosisikan diri sebagai oposisi dan kritikus pemerintah. Padahal, organisasi pelajar/kemahasiswaan ini bisa dijadikan sebagai mitra oleh pemerintah dalam menyalurkan potensi dan peran mereka demi pembangunan Indonesia.

DPR dan pemerintah, misalnya, bisa memanfaatkan jaringan PPI di luar negeri untuk meminimalisasi biaya studi banding ke berbagai negara.
Potensi mereka bisa dijadikan sebagai sumber informasi bagi kalangan pemerintah dan parlemen. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bima Arya Sugiarto dalam simposium internasional Persatuan Pelajar Indonesia Dunia yang diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai negara, termasuk Indonesia, di London 23-24 Oktober kemarin. PPI bisa dimobilisasi secara optimal untuk memberikan data dan pandangan yang konstruktif bagi lembaga legislatif dan eksekutif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline