Lihat ke Halaman Asli

Saya Tak Ubahnya "San Diego Hills"

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh: Mafaticha Al falah

Dulu saya merasa mempunyai banyak kawan, tapi satu persatu mereka hilang, mereka hilang bukan meninggalkanku, tapi karena keegoisannku aku meninggalkan mereka. Sebenarnya Tak ada yang salah atas kehilangan mereka, ini alamiah dan sudah waktunya atau kita bisa menyebutnya dengan hubungan kadaluarsa dan dirasa abstrak  kalau saya menganggap ini semua merupakan takdir tuhan. Masih teringat sebagian dari mereka sering bilang bahwa saya itu manusia tanpa beban, cuek bebek, berlari kencang tanpa memperhatikan duri diatas tanah. Yeach.. mungkin itulah saya dimata mereka, mereka melihat, mereka merasakan sejumput kebahagiaan ketika berteman dengan saya. Tapi mereka tidak tahu seberapa kuat kah saya ketika saya mendapatkan cobaan hidup, yang hanya bisa saya lakukan adalah tertawa pada mereka berharap saya juga ikut bahagia atas kegembiraan mereka. Kepergian mereka dari hidupku menunjukkan bahwa mereka percaya bahwa saya tidak membutuhkan mereka, mereka menganggap saya kuat, everythings gonna be okay pikirnya. Mereka akan menganggap bahwa saya akan selalu bahagia, mereka yakin bahwa dewi fortuna kan selalu disamping jiwa saya. Apapun asumsi mereka, mereka perlu tahu bahwa saya butuh mereka. Mereka orang-orang yang dulu pernah menangis dihadapan saya lalu saya menghiburnya dengan lelucon bodohku, mereka orang-orang yang marah pada saya lalu ku cium pipinya (hanya wanita. sungguh), mereka yang dulunya risi melihat kecerewetan saya lalu akhirnya saya dekati dan ajak berteman, dan mereka, mereka yang pernah ada dalam kehidupan saya yang akhirnya pernah tertawa bersama saya. Sakit memang, saya yang dulu tak pernah merasa butuh orang lain untuk membahagiakan diri ini akhirnya bertekuk lutut pada seorang sahabatku sendiri, laki-laki yang baik yang sudah extra sabar menghadapi keegoisanku hingga pada akhirnya akupun bergantung padanya. Saat itu saya merasa kebahagiannku ada di tangannya. Orang yang telah mengajariku cinta. Dan itu sekaligus menjadi bukti  bagi mereka orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku beranggapan bahwa saya memang benar-benar tak butuh mereka. Saya bukannya tidak butuh tapi saya merasa dia (laki-laki) itu sudah sangat melengkapi hidup saya sebagai wanita dan anak. Tapi di sisi lain saya sebenarnya tak meninggalkan mereka, tapi bagi saya itu proses alamiah, yah sekali lagi alamiah dan saya rasa hampir semua orang akan merasakan hal yang sama ketika mereka menemukan kehidupan baru yang memberi banyak pembelajaran, dan sebenarnya ritual mengasingkan diri dari para sahabat itu merupakan kontrak belajar yang musti di lakukan khususnya bagi saya wanita yang ingin bertransformasi menjadi wanita beneran (wanita kaffah). Hingga pada akhirnya saya benar-benar terpuruk, berawal dari ketidak mampuan saya menjadi seorang wanita seutuhnya, keegoisan saya yang tak kunjung sembuh, hingga mimpi buruk yang menghantui sang lelaki itu atas diri saya, bahkan bak seorang nabi yang bernubuwat dia meramalkan bahwa kita tak akan pernah bahagia bila bersama sampai menikah.  Keputusan  untuk berpisah membuat saya merasa  kehilangan pegangan hidup. Berat memang, Berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkannya agar bertahan ,  tapi itulah kenyataannya meskipun ngoyo tapi kalau tuhan tak berkehendak apa daya. Masih ingat kala melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Yah pada akhirnya kepasrahan lah yang saya pilih dan lagi lagi itu alamiah. Tidak hanya selesai disitu masalah menyusul tentang konflik batin saya terhadap orang tua saya, serta mimpi saya yang ingin sukses diluar rumah akhirnya terhalang oleh kelegowonan hati orang tua saya. Dan disitulah saya sadar oh inikah rasanya hidup sendirian. Hiks hiks..Saya merasa rapopo (rapuh n porak poranda), terombang ambing atas ketidak warasan yang bergelayut, menagis dan menjerit dalam hati “ if you were me!” dan mungkin mereka tak kan pernah tahu, bak makam San diego Hills saya terlihat indah (baca: tanpa sedih) di luar namun mati di dalam. cobalah kalian tengok apa yang ada didalamnya, kerapuhan! Sendiri dan sepi serta terlihat serba gelap. Mana orang tua, mana saudara, mana sahabat, mana mantan-mantan, mana orang-orang yang dulu hadir dalam hidup kita kini tak lagi berbeda, mereka sama!. Lalu orang tua? Yeach mereka memang istimewa tapi sekarang kondisinya berbeda, mereka menuntut saya untuk dewasa dan menyelesaikan pelbagai problema hidup tanpa harus bergantung. Itulah sebabnya mereka tak lagi peduli sama saya, mereka menganggap saya telah mahir dalam hal menciptakan formula hidup. Dan akhirnya,sama saja!. Mungkin banyak yang bertanya apakah saya menyesal tlah meninggalkan mereka teman-teman saya, bagi saya semua itu adalah sebuah konsekwensi untuk di pertanggung jawabkan. Hah inilah seklumit narasi dalam kehidupan saya, yang sebenarnya sangat klise, dan lebay bagi sebagian orang tapi bagi saya sangatlah membekas, karena dari situ saya banyak belajar. dan saya tidak berharap saya diberi kebahagiaan tapi saya berharap saya di beri kekuatan oleh Allah. Kuat dalam menjalani kehidupan dimasa mendatang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline