Lihat ke Halaman Asli

Dendamku Part 1

Diperbarui: 13 Juli 2015   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku seorang ibu rumah tangga biasa di karuniai anak empat semuanya laki-laki anak ketiga terakhir anakku kembar. Suamiku seorang supir pribadi Direktur salah satu pabrik di kawasan yang ada di Jakarta.
Pernikahan ku tak pernah aku inginkan, awalnya kedua orang tuaku yang menjodohkan aku dengan mas Apri Sugianto, karena orangtuaku yang berhutang budi konon katanya, keluarga mas Apri pernah menolong bapak ketika mengalami keterpurukan dalam usaha besar bapak.
Aku merasa pernikahan ini dibentuk bukan atas dasar saling mencintai, aku merasa tidak pernah menyukai mas Apri baik dalam jasmaninya maupun secara sifatnya. Tapi semua ini harus aku jalani bertahun-tahun bahkan jika memang ini adalah jodoh ku akan seumur hidupku aku menanggung keadaan ini.
Dalam mengawali rumah tanggaku, aku seperti hidup dalam sebuah keluarga asing yang penghuninya baru aku kenal. Aku terus berusaha untuk menerima semua ini sebagai takdirku tapi sungguh sangat sulit apalagi ketika mas Apri memperlakukan aku seperti pembantunya.
“Ratna!! Bukain pagernya ! Ngapain aja sih?”
Setiap mas Apri pulang kerja, selalu marah-marah ketika aku tidak segera bukakan pintu dan pagar rumah. Aku tetap bertahan walau kadang hati ini ingin marah juga.
“Kalau di depan sudah ada suara mobil, cepetan buka pagernya! Tidur melulu kerjanya!”
“iya mas maaf tadi tanggung lagi sholat isya”
“sholat isya, alasan aja dari tadi ngapain aja!”
Mas Apri selalu tak pernah puas dengan jawabanku.
“udah sana rebus air ! saya mau mandi”
“ya mas” aku segera merebus air untuk mandi mas Apri. Setiap hari aku lakukan pekerjaan itu dengan omelan suami. Setelah berjalan satu tahun, aku mulai merasakan kehamilan anak pertamaku yang setiap saat juga mas Apri tak pernah mengerti bagaimana cara memperlakukan isteri yang sedang hamil. Mas Apri sering tak mau tahu keadaanku yang berbadan dua . Saat itu aku merasakan mual dan muntah-muntah sehingga badanku merasa lemah dan sampai tak sanggup berdiri, mas Apri pulang terus membunyikan klakson mobilnya.
“sebentar mas” aku coba menjawab agar mas Apri tahu keadaanku, akhirnya mas Apri turun dari mobilnya dan membuka pagar dengan keras sehingga mengagetkan tetangga sekitar rumahku, “Ratna! Ngapain sih?”
“maaf mas badanku lemes banget tadi habis muntah-muntah”
“aah..kamu kolokan amat sih baru hamil dua bulan aja begitu, udah ga mau layanin suami!”
“ya Allah mas, aku beneran lemes banget”
“aah udahlah dasar manja, gimana jadi ibu kamu!”
Mas Apri langsung memarkirkan mobilnya dengan kasar sehingga menabrak pagar tetangga depan rumah. Aku berusaha meminta maaf atas perbuatan suami saya.
Sejak itulah dalam hatiku tertanam kebencian pada suamiku sendiri sampai anaklaki-laki pertama kami lahir, mas Apri tetap tak berubah, sehingga aku merasa anak yang aku lahirkan adalah penyebab semua prahara keluargaku.
Anakku tumbuh sehat dengan berat badan cukup sehat, saat inilah aku mulai menjalani tugas sebagai seorang ibu, di awal tugas ini aku merasakan sangat berat, harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan suami dan melakukan tugas-tugas rutin sebelum Faras bangun itu nama anak laki-laki pertamaku. Satu athun Faras tumbuh dengan sehat karena aku selalu memberinya makanan dan susu yang terbaik, namun keikhlasanku dalam mengurus anakku dan pekerjaan rumah terkadang hilang karena mas Apri selalu pulang dalam keadaan marah, bahkan terkadang tak sempat beramin dengan Faras. Perasaan benciku semakin tumbuh dalam diriku, aku sering luapkan pada anakku.
“Faras! Makan jangan buang-buang makanan!” aku marah pada Faras ketika makanan yang dimulitnya di keluarkan, setiap suapan nasinya di keluarkan akhirnya aku pukul mulutnya sampai Faras menangis
“ayo nangis!” aku terus membentak Faras sampai Faras menangis ketakutan melihat kemarahanku.
Setiap hari mas Apri lakukan kemarahan padaku setiap hari pula aku luapkan pembalasanku pada anaknya Faras, terus sampai Faras usia delapan tahun, duduk di kelas dua Sekolah Dasar, aku melahirkan putra keduaku, aku memperlakukan anak keduakupun sama dengan kekerasan.
“Fajri! Mainair terus liat sampai bajumu basah, ibu guyur kamu!” Fajri anma putra keduaku, ketika main air, Faras tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, bicaranya selalu diulang-ulang, aku melihat Faras mulai menunjukan karakter yang sama dengan ayahnya yang pemarah, aku merasa dendamku pada mas Apri terbalas pada anak-anakku.
Semuanya tidak cukup sampai disini, Yang Maha Kuasa terus memberikan ujian padaku, yang belum sadar dengan tindakanku, aku di karuniai dua anak lagi sekaligus Fitur dan Futur.
Sebetulnya anak kembarku sangat lucu-lucu, tapi aku belum puas dengan dendamku pada dua anakku, aku harus lakukan pula pada anak ketiga dan keempatku, selama mas Apri juga terus memperlakukan aku dengan kasar.
Suatu hari aku menyadari dengan sifatnya Faras yang pemarah, sering Ia melawanku ketika aku nasehati dan aku perintah, mungkin itu hasil didikanku yang sudah membentuk karakternya, ya Tuhan…jahat sekali aku, tapi kesadaranku cepat hilang ketika mas Apri pulang marah –marah dan pergi lagi untuk menyalurkan hobinya yang tak pernah aku sukai, mas apri membawa gitarnya dan menghabiskan malam minggunya dengan teman-temannya.
Limabelas tahun berlalu, aku tidak pernah merasakan indahnya berumah tangga, seperti yang ada pada cerita-cerita picisan, aku tak pernah merasakan kehangatan keluargaku, aku tak pernah merasakan indahnya pujian seorang suami, kini keadaanku sudah mulai berubah dari limabelas tahun yang lalu, aku tak pernah lagi merias diri, aku tak pernah lagi kesalon untuk memanjakan diri seperti waktu gadis dulu, mukaku kusam, penuh dendam, penuh kemarahan, Faras tumbuh menjadi laki-laki yang pemarah, terkadang Ia memarahi adik-adiknya ketika sedikit kesal.
Suatu ketika adik kembarnya bermain dan tidak patuh dengan perintah Faras, Faras membentaknya, sampai Futur terjingkrak kaget dan dagunya tersangkut pagar, ini menjadi kemarahan tingkat tinggi ayahnya dan juga aku
“heh ! ngapain aja sih? Sampe adenya begini?” ujar mas Apri
“lagian kamukan dah gede masa ga bisa jagain adenya?” aku ikut menimpali
“lah orang ga boleh naek, malah naek terus” Faras membela diri
Kejadian ini tidak membuat semuua yang ada dirumah menjadi bahan renungan semua saling menyalahkan, semua saling membela diri, mas Apri juga menyalahkan aku
“lagian ibunya ngapain sih?”
“akukan masak mas”
“kalau anaknya diluar sering diliat!”
“ya mas” jawaban pamungkasku
Aku merenungi setiap kejadian yang ada dalam keluargaku
“O ya Allah akankah ini terus berlanjut?”
Dalam sujudku aku mohon ampunan padaMu ya Rob, salah siapakah ini semua? Kapan semuanya berakhir? Akan terbukakah hati suamiku? Saat itulah aku menyadari betapa besar dosa-dosaku,
Seiring waktu anak pertamaku mulai remaja, Faras terlihat anak yang kuat tapi aku melihat ada jiwa yang sama denganku dalam diri Faras.
Sering terdengar ia membanting pintu dan berteriak ketika Ia marah dan kesal, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada peraaan bersalah tapi disisi lain aku merasa ada yang berbaris dibelakangku sebagai penerus dan pembelaanku. Faras sering melawan ketika bapaknya menasehati atau memberikan perintahnya, saat itulah hatiku merasa senang, seolah-olah Faras sedang membelaku.
“Faras !kalau ngomong sama orang tua tuh yang sopan!”
“Lah bapak sendiri ga pernah sopan sama ibu, sama aku!”
“heh! Kalau dikasih tau ngelawan mulu!”
“biarin!”
Begitu cara Faras berbicara, aku hanya tersenyum pahit.sepahit cerita hidupku, aku harus mempertanggung jawabkan semua ini dihadapan Allah.. Penyesalanku entah berakhir bersama kepahitan hidupku, yang selalu kurasakan setiap saat.
Bersambung ….part.2

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline