Tulisan ini bukan untuk membahas soal dedolarisasi yang tengah ramai diperbincangkan dan mulai disikapi oleh beberapa negara. Bukan pula mengupas mata uang digital yang menjadi model baru dalam bertransaksi di era revolusi industri (revin) 4.0 ini. Namun lebih ke perilaku manusia dalam ruang media sosial buah perkawinan rezim pascamodern (postmodern) dan pascakebenaran (posttruth) sekarang.
Ini tak lepas dari uraian menarik dari sebuah buku yang ditulis Prof Dr Herry Purnomo, berjudul: Filsafat Sains, Intelektualisme, dan Riset untuk Perubahan. Pembahasan yang selama ini menjadi tanda tanya dalam diri akan fenomena sosial di tengah masyarakat yang begitu mudah menebar hoaks (berita palsu).
Ternyata semua ini diibaratkan sebuah mata uang. Ya, mata uang tersebut adalah mata uang sosial (social currency) yang begitu ampuh menjerat sekaligus membuat lupa daratan seperti halnya mereka yang mengumpulkan pundi-pundi uang -bahkan lewat hasil korupsi- untuk pamer diri (flexing).
Bahkan demi 'mengumpulkan' mata uang sosial ini, tanpa malu dan sungkan akan saling berebut cepat sebarkan hoaks. Kenapa bisa seperti itu?
Kabar Buruk itu Berita Baik
Adalah adagium dalam dunia jurnalistik dikenal bad news is good news. Kabar buruk merupakan berita yang baik untuk disebarkan. Contoh: yang ramai sekarang yakni berita tim ofisial sepakbola kita dikeroyok pemain dan ofisial Thailand pada perhelatan Sea Games ke-32 di Kamboja.
Pengeroyokan jelas berita kurang mengenakan (buruk) namun itu adalah berita yang menarik untuk disiarkan (baik). Atau tentang tragedi bus yang masuk jurang di tempat wisata Guci beberapa waktu lalu. Namun semua itu adalah fakta. Bukan rekayasa. Bukan hoaks.
Sementara hoaks adalah fake news alias berita bohong/palsu yang sengaja dibuat atau kebenaran yang secara sadar dimanipulasi. Semuanya ini parahnya telah menjadi ladang bisnis sebagai organized misinformation. Diantaranya yang populer dengan sebutan para buzzer rupiah. Baik buzzer di kelompok sana maupun buzzer di kelompok sini. Tak jauh beda, sama saja.
Para akademisi menyebut gejala ini sebagai era pascamodern (postmodern) dan pascakebenaran (posttruth).
Pascamodern dianggap menihilkan kebenaran yang bersifat universal dan juga narasi-narasi besar (metanarratives). Menggantinya dengan narasi-narasi lebih kecil, sempit (little narratives) yang kebenarannya terletak pada keadaan/kondisi yang menyertainya.
Sementara pascakebenaran disebut tak lagi mementingkan fakta, tetapi lebih pada emosi dan keyakinan.