Lihat ke Halaman Asli

mad yusup

menggemari nulis, membaca, serta menggambar

Kepak Kebhinnekaan Sang Bangau Putih

Diperbarui: 5 Desember 2022   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Sebagai orang awam sekaligus tetangga yang tinggal di wilayah pusat perguruan silat PGB Bangau Putih seperti penulis, mendengar nama PGB atau Bangau Putih sejak usia remaja adalah -meminjam bahasa anak milenial- sesuatu banget. Kenapa? Sebab nama itu selalu dikaitkan dengan nama-nama besar para seniman seperti Iwan Fals, Adi Kurdi, dan tentunya WS Rendra. Selain orang-orang bule yang kerap kami lihat lalu lalang keluar masuk tempat itu.

Bahkan sering ada rumor kalau Iwan Fals dan WS Rendra suka ngabandrek di warung Mang Soma. Bisa ditebak, warung kecil yang terletak di pojok simpang gang masuk PGB itu akan dipenuhi anak-anak remaja nongkrong di sana menikmati bandrek atau pun nasi uduk sambil berharap siapa tahu bertemu dengan sang idola.

Sesuatu banget lainnya adalah rumah dengan pintu pagar bangau-nya itu tak nampak plang atau tulisan papan nama laiknya tempat perguruan silat ternama. Malah bentuknya tidaklah seperti sebuah padepokan silat, tetapi lebih terkesan bak rumah tempo dulu yang asri, sederhana, dan jauh dari gambaran aura angker apalagi mistis.

Dan lebih sesuatu lagi ketika tahu kepanjangan dari PGB adalah Persatuan Gerak Badan yang sungguh terdengar tak lazim. Sementara dari dulu penulis selalu bertanya-tanya, apa singkatan G pada PGB? Sebab huruf P otomatis diasosiasikan dengan Putih dan B dengan Bangau.

Kepanjangan nama PGB yang unik itu malah lebih menyiratkan nama sebuah perkumpulan senam dari pada nama sebuah perguruan silat atau bela diri.

Ketaklaziman ini yang menurut pandangan subyektif penulis, sebagai sisi lain kerendah-hatian Cek Bacih -panggilan akrab di kampung kami kepada Sang Suhu- pendiri PGB Bangau Putih. Kerendah-hatian yang menjadi kekuatan filosofis yang mampu menarik orang-orang seperti pelukis Hardi, serta bule-bule tertarik datang untuk 'menimba ilmu' di sana.

Perkawinan Budaya

Sejak kecil, penulis pernah menyaksikan tumbuh kembangnya beragam seni bela diri di lingkungan kami seperti Pencak Silat Cimande, Pakuya, Kempo, dan Karate. Yang masing-masing dari perguruan itu sering berlatih di lapangan terbuka. Waktu duduk di bangku SMP, ada pula ekstra kurikuler untuk bela diri Betako dan Merpati Putih (MP).

Sebagai anak-anak yang menjelang akil balig, kita pasti senang nonton mereka yang berlatih silat di lapangan. Kadang ada keinginan untuk ikut masuk salah satunya. Penulis sendiri pernah ikut silat Cimande, namun tak serius karena menganggap itu tak lebih dari 'ekskul' saja di tempat penulis mengaji.

Seiring waktu, beberapa seni bela diri itu tak terdengar lagi gaungnya di kampung kami. Kecuali Bangau Putih yang tetap eksis dan tetap bermarkas pusat di Kampung Kebon Jukut hingga detik ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline