Ada tiga perayaan di kampung penulis yang diperingati dengan tradisi pembuatan dan sedekah ketupat, yaitu: Lebaran (Idulfitri), Rayagung/Lebaran Haji (Iduladha), dan Rebo Kasan. Sementara perayaan Muludan (Maulid Nabi), meski lebih meriah namun tak ada kudapan tradisional tersebut.
Laiknya menyambut Lebaran, para penjual daun kelapa sebagai cangkang ketupat sudah memenuhi pasar. Bahkan tak jarang ada pedagang kulit ketupat yang keliling kampung menjelang hari Rebo Kasan. Yang tahun ini jatuh pada hari, Rabu 6 Oktober 2021.
Wangi sayur, opor ayam, dan aroma ketupat akan memenuhi sudut-sudut kampung menjelang magrib. Dan makan malam pun otomatis serasa makan di malam takbiran. Ketupat dengan opor ayam yang masih hangat.
Rabu Akhir
Orang-orang tua di kampung selalu menyebut Rebo Kasan itu dengan ungkapan: 'moal manggih deui Rebo'. Maksudnya tidak akan menjumpai lagi hari Rabu. Yakni hari Rabu di akhir bulan Sapar (Shafar) dan bersiap untuk menyambut datangnya bulan Mulud (Rabiul Awal). Bulan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Suasana Rebo Kasan atau Rebo Wekasan dalam bahasa Jawa ini, serasa hari Lebaran karena selain adanya tradisi ketupat juga diikuti dengan salat pagi bersama-sama di Masjid Jami. Meski tidak dilakukan secara berjamaah dan khutbah sebagaimana salat Idulfitri.
Salat itu disebut dengan 'salat tolak bala'. Bahkan sebagian menyebutnya dengan salat Sapar (Shafar). Yakni salat untuk memohon keselamatan dan dijauhkan dari segala bencana (bala).
Dahulu, setiap orang yang hendak menunaikan salat tolak bala akan membawa air dalam kendi-kendi atau botol beling bekas minuman sirop. Kini berganti dengan botol-botol plastik kemasan maupun botol minuman ala tupperware.
Semua air yang dibawa itu akan ditumpahkan ke dalam gentong besar yang telah dipersiapkan di halaman masjid.
Usai salat yang diakhiri dengan kenduri sedekah ketupat, ritual selanjutnya adalah merendamkan wafak (isim) ke dalam gentong besar tadi. Wafak tersebut merupakan selembar kertas yang bertuliskan kalam Allah dan doa. Biasanya itu sudah dimintakan malam sebelumnya ke seorang ajeungan atau habaib.
Air dalam gentong itulah yang kembali dtuangkan ke wadah-wadah atau botol tadi untuk kemudian dibawa pulang sebagai penangkal bala bahkan untuk obat. Dibasuhkan ke wajah, diminum, maupun diteteskan ke mata.