Lihat ke Halaman Asli

mad yusup

menggemari nulis, membaca, serta menggambar

Replikasi Sebaran Virus dalam Filosofi Permainan Congklak

Diperbarui: 7 Juli 2021   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adalah unggahan dari status WA dosen agama Islam tentang renungan saat menghadapi wabah pandemi yang semakin 'menggila' ini. Tak dipungkiri karena ada dari kita telah abai dan menganggap remeh. Dan akhirnya ketika virus ini menggurita, kepanikan mulai melanda. Sang dosen mencontohkan bagaimana sebaran virus itu diibaratkan seperti dalam permainan tradisional masa kanak-kanak tempo dulu. Permainan congklak.

Congklak dan Arti Kehidupan

Congklak diduga merupakan (papan) permainan tertua yang pernah ada. Menurut para ahli, permainan ini berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian menyebar ke Afrika hingga Asia. Para pedagang Arab-lah yang mengenalkan permainan ini di bumi Nusantara. 

Menurut AJ Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon) seperti ditulis Historia, permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan. 

Dan masyarakat Jawa Kuno juga menggunakan dakon/congklak untuk menghitung musim tanam dan musim panen. Sedangkan di beberapa tempat lainnya, permainan ini hanya dimainkan pada saat-saat tertentu saja. Seperti di Sulawesi, permainan ini dahulu digelar justru pada saat berkabung.

Nama congklak sendiri mempunyai sebutan yang beragam di berbagai tempat. Orang Melayu menyebutnya congkak, mirip dengan bahasa Sunda yaitu congklak. Sementara masyarakat Jawa menamai permainan ini dengan dakon atau dakonan. Di Lampung disebut dentuman lamban. Sedangkan di Sulawesi mempunyai banyak nama, mulai dari nogarata, makaotan, aggalacang, dan manggaleceng. Di negara tetangga, Filipina dikenal dengan nama sungka. Dalam bahasa Arab sendiri, congklak ini disebut mancala yang kemudian diserap ke dalam bahasa inggris dengan penyebutan yang sama.

Congklak, dahulu terbuat dari papan kayu. Mulai dari yang sederhana hingga penuh ukiran dan warna khas daerah masing-masing. Pada masa sekarang, congklak terbuat dari plastik yang dicetak warna-warni.

Ukuran papan congklak kurang lebih 50 cm x 15 cm, dengan tinggi/ketebalan 3 cm. Bisa lebih besar dari itu tergantung model dari ciri budaya setempat. Pada papan congklak tersebut terdapat 16 buah lubang yang terdiri dari 14 buah lubang kecil (masing-masing 7 buah yang saling berhadapan) serta 2 buah lubang besar di kiri kanan ujung papan.

Dalam setiap lubang kecil akan diisi dengan masing-masing 7 buah biji. Jadi dibutuhkan 98 buah biji yang pada masa lalu berupa kuwuk (cangkang kerang), biji-bijian yang dikeringkan (biji sawo), atau batu kerikil. Kini bijinya adalah kerang-kerangan plastik.

Secara filosofis, permainan yang dimainkan berdua -biasanya anak perempuan- itu menggambarkan sikap hidup kita. Dikutip dari Biro Humas Pemerintah Kabupaten Bengkalis, Riau, dijabarkan beberapa makna dari permainan tradisional ini:

Jumlah angka 7 (dari masing-masing 7 buah lubang kecil yang saling berhadapan dan 7 buah biji) itu menandakan jumlah hari dalam seminggu. Kemudian ketika biji diambil dari salah satu lubang dan mengisi lubang yang lain, bermakna bahwa setiap hari yang dijalani akan menentukan hari berikutnya. Sekaligus menentukan atau berpengaruh pada hari orang lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline