Lihat ke Halaman Asli

Meneropong “Kabinet Kerja”

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Samsul Arifin

Selasa, 28 Oktober, 2014

Meneropong “Kabinet Kerja”

Masih tergambar dengan jelas bagaimana hingar-bingar meriahnya euforia perayaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Yusuf Kalla periode 2014-2019 pada Senin 20 Oktober kemaren, besar dan meriahnya euforia oleh rakyat tersebut secara tersirat tidak dapat dimaknai sebagai perayaan rakyat terhadap sah nya Jokowi-Yusuf Kalla menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru semata, melainkan harus mampu ditangkap dan dipahami sebagai gambaran besar wujud espektasi rakyat Indonesia terhadap amanah yang diembannya, karena pada dasarnya perayaan tidak di letakkan pada saat start perjuangan tetapi diletakkan pada saat perjuangan sudah mencapai garis finis dengan syarat disertai prestasi yang memuaskan bagi bangsa ini. Besarnya ekspektasi rakyat terhadap pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jokowi-Yusuf Kalla ini bukanlah pengharapan besar halusinasif semata dan tanpa dasar akan perubahan serta kemajuan bangsa ini, mengingat ekpektasi tersebut merupakan hal yang wajar sebagai pantulan balik yang sinergis dengan apa yang Jokowi-Yusuf Kalla sampaikan disaat kampanye Pilpres seperti dalam hal pengentasan kemiskinan, kedaulatan energy, pemberdayaan ekonomi kreatif, penegakan hukum serta pemberantasan korupsi dan lain sebagainya. Espektasi besar rakyat tersebut harus mampu dirawat dan dijawab dengan baik oleh pemerintahan saat ini tidak hanya dalam lima tahun mendatang tetapi juga dalam mengawali pemerintahan sekarang, karena jika tidak, maka sangat dimungkinkan ekspektasi besar tersebut bereksodus kearah distrust yang dibalut kekecewaan rakyat. Dalam mengawali langkah pemerintahannya Presiden Jokowi tidak banyak mengalami hambatan dan sandungan yang sangat berarti, hal tersebut tidak terlepas dari proses tansisi dari pemerintahan sebelumnya terhadap pemerintahan sekarang berjalan lancar yang patut di apresiasi setinggi mungkin. Dan yang menjadi bacaan rakyat Indonesia sekarang yang meletakkan harapan besar pada pundak pemerintahan baru ini, ialah bagaimana Jokowi menyusun kabinet nya (kabinet kerja), karena disitulah sebenarnya rakyat dapat menakar langkah awal Presiden Jokowi dalam menyongsong pemerintahannya sampai lima tahun yang akan datang, apakah pos-pos “kabinet kerja” yang sudah terbentuk di isi oleh person-person yang layak dan profesional berdasarkan kompetensi dan track record nya, bukan hannya karena kedekatan emosional politis semata, karena tidak dapat dipungkiri kita pernah memiliki pengalaman traumatik berkaitan dengan ditetapkannya tiga menteri sebagai tersangka korupsi oleh KPK bahkan ada yang sudah di vonis oleh tipikor pada era pemerintahan sebelumnya yang ketiga-tiganya berasal dari partai politik pendukung pemerintahan, walaupun hal tersebut tidak mesti menjadi patokan utama terjadinya tindak pidana korupsi, karena tidak ada jaminan utuh bahwa menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan professional untuk selalu bersih dari potensi korupsi, akan tetapi setidaknya kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi.

Pelibatan KPK dan PPATK

Penyusunan kabinet atau menteri merupakan derefasipraktikal konstitusional karena sudah menjadi pranata konstistusi seperti yang termaktub dalam Pasal 17 UUD 1945, dimana dalam hal ini Presiden diberikan hak istimewa yakni hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Berkaitan dengan penyusunan kabinet pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah terbentuk dengan nama “kabinet kerja” tersebut menarik untuk disimak, mengingat Presiden melibatkankan lembaga Negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK untuk dimintai report terkait rekam jejak calon menteri-menterinya untuk memastikan apakah bersih dari keterkaitan tindak pidana korupsi atau tidak. Dari prosesi rekruitmen menteri-menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK yang tidak pernah dilakukan Presiden sebelumnya ini, walaupun report dari KPK menyatakan ada beberapa nama calon menteri yang disodorkan oleh Presiden Jokowi mendapat stabilo kuning dan merah artinya tidak rekomended untuk diplot sebagai menteri, tetapi dalam prosesi ini pada permukaan secara tersirat dapat ditangkap niatan dan maksud baik Presiden Jokowi untuk menyusun kabinet yang bersih, akan tetapi disisi lain ada beberapa hal yang patut dinilai lebih mendalam lagi yakni:

-Mengingat KPK dan PPATK dalam menyampaikan report secara tertutup terhadap Presiden terkait nama-nama calon menterinya sehingga publik tidak tahu apakah Presiden masih mengangkat nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah atau kuning dari KPK, maka dari itu KPK dan PPATK hendaknya segera mengumumkan hasil report nya kepada publik, karena publik berhak tahu terhadap transparansi proses ini tanpa sedikitpun mengurangi hak prerogatif presiden

-Hasil report KPK terkait nama-nama menteri yang mendapat stabilo kuning atau merah baik yang diserahkan secara tertutup terhadap Presiden dan atau nantinya di umumkan kepada publik oleh KPK bisa berdampak pada ketidak terpilihan yang bersangkutan sebagai menteri dalam “kabinet kerja” dan atau nantinya menyebabkan penghakiman (judge) tanpa adanya proses peradilan, padahal setiap orang dilindungi oleh asas presumption of innocence dari penghakiman sebelum adanya proses peradilan. Oleh karena itu KPK hendaknya mengumumkan hasil report nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah, kuning tersebut agar publik tahu apakah nama-nama tersebut masih dipakek atau tidak dalam “kabinet kerja”. Tetapi dengan catatan KPK harus disertai dengan langkah penegakan hukum terhadap nama-nama mantan calon menteri dan menteri terpilih yang mendapat stabilo merah atau kuning tersebut, agar KPK tidak sewenang-wenang merusak nama baik seseorang tanpa memprosesnya secara hukum.

Kabinet representatif

Dalam perspektif postur pemerintahan akomodatif idealnya postur kabinet itu di isi oleh person-person yang mereprentasikan semua elemen bangsa dan Negara ini seperti komposisi lembaga perwkilan di parlemen namun keduanya merupakan lembaga Negara dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda, yang menjadi soal adalah dengan postur kabinet yang hanya terdiri dari 34 pos kementrian apakah mampu untuk mengakomodasi semua elemen perwakilan suku dan anak bangsa? Dapat kita bayangkan dengan jumlah suku yang ada di Indonesia kurang lebih 1.128 suku bangsa, terlebih semisal dari perwakilan suku bangsa tersebut meminta agar diakomodasi dalam kabinet, hal yang mustahil untuk mengakomodasi seluruhnya. Oleh karena itu penulis berpandangan bahwa kabinet yang baik itu bukan kabinet yang penyusunannya didasarkan pada hal yang sifatnya akomodatif sebagai pertimbangan utamanya tetapi kabinet yang penyusunan nya didasarkan pada pertimbangan kelayakan, kompetensi yang menjadi hak prerogatif Presiden untuk mengangkatnya, oleh karena itu yang tidak terpilih menjadi menteri terkecuali yang terkena stabilo merah atau kuning KPK bukan karena tidak layak dan tidak memiliki kompetensi melainkan bisa jadi karena satu dua hal yang hanya Presiden yang memahaminya.
dan semoga kabinet kerja ini benar-benar telah di isi oleh sosok-sosok yang layak, kompeten, serta profresional sehingga mampu mewujudkan espektasi besar rakyat Indonesia, atau setidak-tidaknya merealisasikan menunaikan janji-janji politik Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti yang dikampanyekan.

Sekian terimakasih,

Selamat hari Sumpah Pemuda….!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline