Siang itu kantor guru sudah mulai sepi. Guru yang habis jam ngajarnya satu per satu pergi dengan menenteng tas untuk pulang. Pun demikian dengan teman PPL, beberpa dari mereka telah pulang lebih dulu kecuali mereka yang mendapat jatah mengajar jam terakhir.
Riski yang sebenarnya telah habis jam ngajarnya masih duduk di meja kerjanya, duduk seorang diri dengan terus memandang layar netbook yang sedari tadi tak ia sentuh. Lembar kerja word pun masih kosong tanpa ada tulisan yang ia rangkai. Padahal sudah 3 jam ia hidupakan. Pikirannya melayang entah kemana. Sesekali ia melempar senyum kepada guru yang baru selesai mengajar ataupun kepada mereka yang pamit untuk pulang.
Apa yang akan ia lakukan setelah lulus. Itulah salah satu hal yang mengganjal pikirannya. Beberapa hari lalu ketika ia ikut Pak Edy mengajar dan mendengar nasehat yang di lontarkan kepada murid-muridnya tentang pentingnya rencana hidup, secara tak sadar mempengaruhi dirinya. Tuntutan untuk menjadi guru sesuai dengan fakultas yang ia pilih membuatnya cukup resah. Pasalnya belakangan ini setelah menyadari ending dari jurusan kuliah yang ia pilih, ia lebih tertarik dengan dengan dunia jurnalistik. Katanya ia ingin menjadi seorang wartawan. Menjadi guru, sama sekali tak menarik baginya.
Ada beberapa alasan mengapa ia tak tertarik menjadi guru. Kemampuan menjelaskan yang masih membingungkan di tambah sifat pendiamnya membuat ia cukup malas untuk masuk kelas. Ia menyadari bahwa dirinya masih butuh banyak belajar agar pelajaran yang ia sampaikan bisa diterima dengan mudah dan terkesan tidak membosankan. Ah, rasanya ingin cepat-cepat selesai PPL. Terkadang ia berpikir ingin ikut program Indonesia Mengajar. Ia merasa tertantang untuk mengikuti proses di tempatkan di pelosok negeri, jauh dari peradaban. Hatinya mengatakan bahwa ia ingin belajar untuk menjadi guru yang inspiratif dan bisa membuat muridnya menemukan bakat serta mimpi masa depannya. Bukan hanya guru yang hanya sekedar mengajar, memindahkan pengetahuan dari buku ke pikiran seorang murid. Seperti yang ia alami dulu.
Selain itu ia merasa masih butuh banyak belajar serta pengalaman. Apa yang ia alami dulu sewaktu masih menjadi seorang siswa tak ingin muridnya juga merasakannya. Pelajaran yang membosankan, guru yang hanya berorientasi pada materi yang penting sudah disampaikan dan sistem pembelajaran layaknya bayi yang makan hanya ketika di suapi. Sungguh hatinya membenci sistem pendidikan seperti itu.
“Belum pulang ?” tanya Zaim yang baru selesai mengajar dengan menenteng laptopnya.
“Belum. Bentar lagi, nyelesain ngedit RPP. Pengin cepet-cepet selesai lho, sudah bosan nie”, jawab Riski sekenanya.
“Ya kamu mengejarkan sesuatu yang gak kamu suka, pantas saja bosan. Jalani saja dulu. Toh juga tinggal 10 hari lagi. Baru setelah itu kamu cari jalan untuk mennggapai yang kamu suka”, nasehatnya setelah mendengar keluh yang Riski ucapkan.
Zaim yang sudah tahu jalan pikirannya hanya berpesan agar ia berusaha untuk berlatih menulis. Cari sesuatu yang sesuai passionya. Ya, dia cukup paham dengan keinginan Riski karena beberapa kali dalam suatu kesempatan mereka sering sharing terkait permasalahan yang dihadapinya. Bagi Zaim menjadi guru adalah impiannya sejak kecil sehingga ia pun enjoy dengan apa yang ia alami sekarang. Tetapi tidak untuk Riski. Ia masih di landa kegalauan, memikirkan rencana ke depan untuk membelok dari jalur yang ia tempuh sekarang. Kalaupun menjadi guru, ia ingin menempa diri terlebih dahulu agar kemampuannya bisa memotivasi dan mengsnpirasi muridnya untuk bisa berkarya. Bukan statis bahkan hanya mengikuti arus, laiknya kerbau yang di cocok hidungnya.
Kretek Wonosobo, 3 September 2015 00:37 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H