Tulisan ini bukan bermaksud untuk membandingkan antara yang hebat dan tidak hebat, walaupun mungkin judulnya terkesan seperti itu. Hanya sebuah refleksi atas pengalaman silaturahim kepada salah satu guru yang kebetulan mengajar di sekolah swasta, sebut saja Bu Sri.
Tentunya bukan tanpa adanya alasan dan fakta sebuah gagasan itu terlontar. Gagasan ini muncul ketika Bu Sri menceritakan pengalamannya selama mengajar di sekolah swasta. Berawal dari pertanyaan yang saya ajukan mengenai bagaimana kurikulum 2013 itu diterapkan di sekolah, beliau mengakui bahwa kurikulum 2013 itu masih membingungkan dan tidak terlalu cocok di terapkan di sekolahnya. Alasannya, karena memang beliau belum sepenuhnya memahami seperti apa kurikulum 2013 itu. Dan baru sekali ia mengikuti pelatihan, itupun hanya pengenalan belum secara mendetail.
Alasan lainnya adalah berkaitan dengan jam pelajaran yang di tambah sampai jam ke sembilan sehingga memaksa siswa untuk pulang lebih sore. Pulang sore, itulah kendalanya. Kenapa? Karena kebanyakan siswa di sana adalah anak pedesaan yang jika kesorean maka tak ada angkutan umum yang akan mengantarkan mereka. Pernah suatu kali ada keadaan ekstrakurikuler sampai sore, maka siswa yang tinggal di pedesaan itu harus menunggu lama mobil angkutan umum. Dan yang paling memprihatinkan, mereka pulang berjalan kaki dengan jarak yang jika di tempuh dengan sepeda motor bisa sampai 20 menit.
Selain itu, metode mengajar kurikulum 2013 yang mengharuskan siswa untuk aktif belum bisa diterapkan di sekolahnya karena kondisi siswa yang memang belum siap dan lebih sering disuapi layaknya seorang anak kecil. Mungkin jika membaca tulisan ini, pembaca akan menyimpulkan betapa rendahnya kualitas siswa. Namun ada satu faktor sosiolagis yang perlu diketahui, bahwa mereka bukanlah anak seorang yang kaya akan harta. Pekerjaan sebagai petani jagung, padi dan ketela bukanlah jaminan setiap bulan orang tua mereka mendapatkan penghasilan yang tetap, akibatnya merekapun tak punya aksesoris mahal layaknya mereka yang sekolah di negeri. Ini berimbas kepada ketidaksiapan proses belajar dengan metode kurikulum 2013 yang mengharuskan untuk aktif. Bagaimana mau aktif, sumber informasi internet yang menjadi andalan diskusi bagi siswa tak bisa mereka akses tidak seperti mereka yang ada di sekolah negeri.
Warnet? Inipun bukan solusi yang tepat. Uang saku yang hanya Rp. 5.000 pun sudah buat Pulang Pergi Rumah-Sekolah. Darimana Bu Sri tahu uang saku hanya Rp. 5.000 ?
Inilah yang membuat saya mengambil judul Guru Sekolah Swasta lebih Hebat dari Guru Negeri. Bu Sri menuturkan bahwa ia harus jemput bola, mendatangi rumah satu per satu untuk membujuk supaya mau sekolah di lembaga yang beliau kelola. Itupun bukan hal yang mudah, respon yang tidak bersahabat sering ia alami, belum lagi kondisi jalan yang menanjak dan rusak. Pengalaman seperti inilah yang membuat para guru tahu bagaimana kondisi keluarga peserta didiknya. Dan inilah yang membuat Bu Sri merasakan betapa perjuangannya mungkin tidak dirasakan oleh para guru yang ada di Negeri karena di sana sudah banyak siswa yang mendaftar bahkan melebihi qouta. Dari sini pula hubungan anatara guru dan murid terjalin layaknya seorang teman, tidak di takuti dan bukan seperti hubungan pembantu dan majikan. Yang lebih merekatkan lagi, murid sering curhat kepada Bu Sri.
Selain beberapa persoalan di atas, keterbatasan fasilitas yang di miliki sekolah juga membuat proses pembelajaran dengan memakai kurikulum 2013 sedikit terhambat. Sebut saja misal Proyektor, bagi sekolah negeri mungkin setiap kelas sudah ada karena bantuan dari pemerintah lancar. Namun, bagi sekolah swasta ini menjadi kendala karana kalaupun ada itupun hanya 1 atau 2. Ah, negeriku. Pendidikan seolah menjadi milik mereka yang kaya dan berprestasi.
Banjarnegara, 30 Oktober 2014. 00:37.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H