Lihat ke Halaman Asli

Distorsi Cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fatamorgana hanya menipu orang-orang yang haus dahaga

Secara kebetulan, perkara yang mustahil mungkin saja terjadi. Bawang putih tumbuh di pohon anggur, seekor buaya bisa bersin, atau hal-hal aneh lainnya. Semuanya mungkin terjadi secara kebetulan. Kecuali satu hal, yaitu cinta dalam diri manusia. Cinta bukanlah perkara yang hadir secara kebetulan. Tidak pula tumbuh saat pandangan pertama seperti ocehan para pujangga. Juga tidak ada kaitan dengan rindu dan seksualitas wanita. Cinta adalah fenomena langka kehidupan. Dalam sejarah panjangnya, manusia lebih mengenal istilah jatuh cinta daripada hakikat cinta itu sendiri. Sehingga jatuh cinta menjadi persoalan utama yang menyita pikiran manusia. Setiap orang -yang telah atau akan lahir- menunggu dengan sabar agar bisa jatuh cinta; menemukan perempuan pemikat hati yang bisa membuat darah bergelora kencang dan membawa terbang ke awang-awang.

Saat menunggu datangnya cinta, orang bersolek sedemikian rupa supaya terlihat menarik dan mempesona. Meminyaki rambut sampai mengkilat rapi tertata. Memakai baju paling bagus yang dipunya. Merapikan janggut dengan pisau cukur ternama. Setelah itu ia menelusuri jalanan hanya untuk mencari cinta. Sepanjang tahun mencari yang namanya cinta, tanpa sadar kalau sebenarnya ia hanya sedang membuntuti bayangannya sendiri. Seperti orang dahaga yang terus membuntuti fatamorgana. Sejauh mata memandang ia berjalan menghampiri bayangan air sampai nafas terakhir. Membakar diri di bawah terik matahari dengan harapan bisa mengobati rasa haus di tepian oase lalu minum sepuasanya sampai puas. Dari jarak setengah mil saja fatamorgana sudah bisa dilihat, namun sepanjang hayat ia berjalan tanpa menempuh jarak tersebut dan tanpa menemukan apapun kecuali rasa haus yang terus bertambah.

Malapetaka seperti ini juga terjadi di jalanan kota. Setiap hari dan berjuta-juta kali. Orang mencari seteguk cinta. Tepatnya mencari perempuan dengan anggapan cinta adalah seksualitas, barang dagangan yang hanya dapat ditemukan pada perempuan saja dan mampu mengobati rasa dahaga sementara waktu. Akibat dari kesalahan fatal ini, orang akan kehilangan tujuan hidup sampai akhir hayat. Bertemu dengan seribu perempuan namun juga kabur dari seribu yang lain. Menghias diri memotong janggut dengan pisau cukur kenamaan. Memperlihatkan sepatu mahal saat berjalan. Berbangga ria dengan perempuan dan kisah cinta palsu di setiap sudut jalanan. Tidur di setiap kasur yang didapat dan menjilati setiap tempayan yang terlihat. Namun akhirnya ia terpaksa harus mengakui kalau rasa haus yang dirasakan malah terus bertambah. Dan ternyata yang dilihat tidak lain adalah gundukan pasir yang mengelabui dalam bayangan fatamorgana. Distorsi semacam ini tidaklah tercipta karena cinta, namun muncul atas dorongan naluri seksualitas binatang.

Pada dasarnya, orang yang sudah terbujuk oleh cinta model ini adalah mahluk yang sama sekali tidak mempunyai rasa cinta. Baik rasa cinta pada setiap perempuan yang sudah atau akan dikencani maupun kepada keluarga, bangsa, negara, dan sekelilingnya. Ia tidak mampu memahami kearifan dan moral suci. Oleh karena itu ia tidak akan pernah sanggup memberikan apapun selain harapan kosong dan palsu, baik pada yang lain maupun dirinya sendiri. Sayangnya, sembilanpuluh sembilan persen manusia yang sedang -atau yang akan- menghuni dunia terjerembab ke dalam kategori manusia seperti ini. Sehingga tidaklah mengherankan jika bumi yang kita pijak sekarang terasa seperti potongan neraka jahanam.

Yang patut direnungkan adalah bahwa cinta bukanlah kondisi emosional, bukan juga mengawang di atas awan, bukan pula curahan hati dalam deretan bait puisi, atau bertukar pandang dengan lawan jenis. Tetapi cinta adalah -berbeda dengan keyakinan banyak orang- ketenangan jiwa. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan hati. Cinta adalah gagasan yang dibangun manusia melalui berbagai upaya dalam menghadapi problematika dunia, yang kemudian menjadi pijakan sikap dalam berinterkasi antar sesama, juga dalam menata dan menjaga kehidupan dunia. Cinta tidaklah turun dari langit. Tidak juga terpancar dari mata para gadis. Tidak juga bersembunyi di lubang jalanan yang bisa ditemukan secara kebetulan. Cinta adalah sebuah produk, sama seperti produk lainnya yang membutuhkan usaha keras dan cucuran keringat. Oleh karena itu, untuk merasakan agungnya kenikmatan cinta Anda dituntut untuk berjerih payah dan berpeluh-peluh. Jika tidak, maka racun dan petualangan seks di berbagai lokalisasi bisa Anda rasakan dengan gratis. Cinta sejati itu seperti nasi, tidak bisa didapatkan tanpa kerja keras.

Seseorang tidak akan mampu menjadikan Anda kenyang jika Anda benar-benar tidak kenyang. Maksudnya, dengan cara apapun seseorang meyakinkan Anda dengan logika dan argumentasi, Anda tidak akan pernah percaya satu kata pun yang diutarakan. Hal semacam ini sama juga menimpa dalam masalah cinta. Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan Anda cinta. Tidak juga para gadis mampu menganugerahkan mukjizat suci ini. Tidak juga keluarga, bangsa, maupun sahabat. Cinta itu diciptakan oleh Anda sendiri sehingga dapat merasakannya dalam jiwa. Namun jika tidak mampu menciptakannya, maka sia-sia seluruh dunia mencintai Anda. Anda akan hidup merana seperti tikus di langit walaupun dikelilingi seribu tikus perawan. Inti persoalan ini adalah karena manusia mencari sungai di padang pasir. Berjalan tanpa tujuanmengikuti harapan kosong ciptaan imajinasi sendiri. Kemudian di akhir cerita dihinggapi rasa putus asa, karena kenyataanya yang didapati hanyalah gundukan pasir padang sahara. Setelah itu muncullah rasa sesal dan benci terhadap seisi dunia. Secara singkat, orang semacam ini adalah orang yang tersesat di jalan.

Jalan menuju cinta adalah dengan menyelami jiwa. Yaitu dengan menanggalkan ego pribadi, hawa nafsu, sombong, pamrih, dan prilaku-prilaku munafik. Jalan menuju cinta adalah dengan keluar dari materliasme tubuh dan belajar rendah hati seperti balita yang belajar berjalan. Puluhan kali Anda akan tersandung dan terjatuh. Namun sesekali Anda pun akan berjalan satu, dua, atau tiga langkah. Puluhan kali Anda akan tertipu antara cinta dan seks, antara berbuat baik dan berbangga diri, antara pengorbanan dan egoisme, antara sombong dan rendah hati. Puluhan bahkan ribuan kali Anda akan terjerumus melakukan kesalahan-kesalahan seperti ini, namun sesekali Anda pun akan berjalan satu atau dua langkah di jalan yang benar. Setelah ribuan tahun barulah Anda akan sampai ke tujuan, kalau memang diberi umur sampai seribu tahun. Namun itu tidak jadi soal, karena dalam pandangan Tuhan, satu hari Anda berada pada jalan yang benar, sama halnya dengan satu juta tahun berada di jalan yang salah. Sekarang umur dunia sudah tiga ribu juta tahun dan berjalan menuju ke arah yang salah. Dan hasil perjalanan manusia sepanjang itu dapat Anda lihat dengan mata kepala sendiri; tank, meriam, bom atom, pertikaian, pembantaian, dan hanya setitik kecil kedamaian saja.

Dunia ini tidak bisa diselamatkan dari segala macam ancaman kecuali dengan limpahan cinta. Namun sayang, cinta bukanlah perkara gampang seperti membuat bom atom atau barang lainnya. Cinta adalah ketenangan jiwa yang sampai saat ini belum bisa diciptakan umat manusia, karena masih mengira cinta adalah seksualitas. Salah kaprah ini bisa saja memuaskan tujuan dan kebutuhan nafsu untuk sementara waktu. Namun kasusnya sama seperti orang haus yang menukar sungai dengan fatamorgana. Hanya menghabiskan umur dengan berjalan di hamparan padang pasir gersang sambil berharap menemukan air. Namun yang pasti rasa haus akan mengantarkannya ke gerbang kematian. Nasib yang tak bisa dihindari oleh si pencari fatamorgana. Sembilanpuluh sembilan persen manusia di dunia, baik yang telah atau akan mati, mereka datang dan pergi tanpa mendapatkan setetes arti kehidupan pun. Sedang menurut yang lain sembilanpuluh sembilan persen manusia hanya mengharap hidup tenang. Padahal kenyataa persentasenya lebih dari itu. Sejarah manusia mencatat hanya beberapa orang saja yang mampu menciptakan dan membumikan cinta. Namun mereka pun harus mati di tangan orang-orang yang dicintai.

Mahluk yang dihasilkan peradaban dunia dan dijuluki “manusia” ini tidak mampu menerima anugerah cinta. Tidak juga mampu membalas ketulusan cinta kecuali dengan tiang gantungan. Manusia hanya memahami anugerah agung ini sebatas seksualitas, kelezatan biologis, dan lawan jenis. Jika sudah seperti ini, martabat manusia tidak jauh berbeda dengan monyet dan buaya, karena dalam urusan seksual semua mahluk hidup sama, yaitu bertujuan menjaga keberlangsungan hidup. Selain itu setiap binatang juga mendapatkan kenikmatan sebagai imbalan dari kewajiban ini. Namun saja, manusia -yang diberikan keistimewaan untuk berbohong- mampu menciptakan bait-bait puisi dalam kehausan seksualitas yang disebutnya cinta. Menyanyikannya di atas panggung, diocehkan di klab-klab malam, novel, majalah, dan jalanan. Tidak sadar bahwa ia sedang menipu diri dan keluarga walau telinganya mendengar dentuman bom sekalipun. Mukjizat cinta yang belum bisa direalisasikan manusia sampai sekarang tidak bisa diraih kecuali dengan usaha keras dan berbagi rintangan cobaan. Karena setidaknya hal tersebut dapat menurunkan kadar kesombongan dan menjaga reputasi mahluk sempurna yang kian sirna.

*Diterjemahkan dari buku تحية طيبة وبعد(Dengan Hormat) karya Sodiq Nayhum 2001.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline