Lihat ke Halaman Asli

Filsafat di Antara Makna dan Bahasa

Diperbarui: 15 Juni 2024   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepatnya pada 14 Maret 2021. Kami berpetualang untuk melihat bergaam makna yang tidak realistis 

Seringkali kita terjebak dalam sebuah bentuk pemaknaan dari sebuah kata dan kalimat, tentunya baik jika pemaknaan ini di landasi dengan konteks dan pendekatan dari berbagai macam metodelogi pengetahuan tentang teks. Jika tidak maka, secara tidak langsung tentu ini akan mempengaruhi kita dalam melihat realitas, kita semakin kaku dalam dalam melihat berbagai persoalan yang muncul.

Bebagai macam metode terhadap disiplin ilmu sangat di perlukan sebagai basis teoritis dalam melihat konteks. Misalnya Kita bisa merujuk pada dekonstruksi nya  Jacques Derrida bahawa tidak mungkin konsep pertama itu selalu benar. Artinya Kita memahami merah itu tidak selamanya berani, tidak selamanya kita memhami putih itu adalah kesucian dan tidak selamanya senja itu akhir dari siang 

Pemaknaan yang beragam ini sering kali menutup nilai objektif pada realitas, maka baiknya kita tidak terjebak dalam satu bentuk pemaknaan tersebut, sehingga dalam melihat setiap realitas itu, semestinya tidak begitu sempit, sebab setiap konteks realitas mempunyai makna beragam bisa di tinjau contoh; hari ini tidak sama dengan hari esok.

Kita bisa melihat persoalan seperti filsafat yang di haramkan oleh para ahli agama, walaupun kita patut bertanya-tanya apa yang menjadi syarat sehingga ilmu filsafat di haramkan. Mungkinkah pemaknaan yang kita temui ini sudah usang dan tidak layak untuk di pakai semisal; filsafat itu haram sebab nabi tidak pernah mengajarkan filsafat dan filsafat itu haram karena sudah di haramkan oleh imam Al-Ghazali. Sebagian pemaknaan seperti  ini kita bisa jumpai dan di pertahankan sampai sekarang, artinya kita di paksa untuk mengikuti pemaknaan orang-orang tanpa mencari tau lebih dalam dengan berbagai macam pendekatan pengetahuan. Mestinya konsep pengetahuan kita tentang bahasa harus lebih di kedepankan untuk melihat makna yang beredar ini misalnya, dari mana asal kata dari Setiap makna ini ?

Inilah yang terjadi ketika perdebatan antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd yang di mana Al-Ghazali melihat kerancuan par falaisafa ini Karena melihat penciptaan Alam semesta tercipta dari sebab pertama. Namun Ibnu Rusd hadir dengan makna baru dalam melihat Al-Ghazali membahas tentang kerancuan. Ibnu Rusyd memberi tanggapan bahwa kerancuan ini hadir di sebabkan setiap makna memiliki konteks artinya wilayah pembahasan tentang analitis berbeda dengan mistis. Teman-teman bisa merujuk teks aslinya untuk melihat perdebatan itu yakni: Tahafut Al-falasifah dan Tahafut Al-Tahafut

Dari sini kita bisa melihat bahwa makna ini sering menjadi pedoman dan landasan hidup di tengah-tengah masyarakat, artinya makna ini bisa di rawat dan di jaga untuk melindungi setiap kepentingan. Jadi tidak salah kalo kita Masi terjebak dalam setiap pemakanan yang sempit di sebabkan kita turut dalam merawat kedunguan ini. Untuk keluar dari pemakanan yang sempit ini lagi-lagi keti membutuhkan sebuah metode, dan filsafat adalah sebuah metode yang pling tepat untuk bisa melihat pemakanan yang beragam ini

Dari pendekatan filsafat, kita bisa melihat makna ini. semisal: tidak selamanya mengungkapkan cinta ini adalah mewakili kesucian perasaan, dan tidak selamanya yang menolak ini benar-benar menjaga kesucian 

Sekian.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline