Lihat ke Halaman Asli

Made Widdi Ellinda Patra

Semoga tulisan-tulisan saya bermanfaat

Minyak Goreng Sawit: Keamanan dan Mutu

Diperbarui: 29 Maret 2022   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini media massa diramaikan dengan berita mengenai minyak goreng. Masyarakat berburu minyak goreng dengan harga murah, tetapi yang diburu justru absen dari rak-rak minimarket. Emak-emak dibuat senewen.

Di pertengahan bulan Maret, media mengabarkan pencabutan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang semula berkisar Rp14.000,00 sampai Rp15.500,00 perliter menjadi lebih dari Rp 23.000-an per liter. Dijual mahal, minyak goreng kembali mengisi rak-rak belanja, tetapi emak-emak pemburunya justru mundur teratur melihat harga yang meningkat.

Minyak goreng sesungguhnya adalah segala bentuk minyak yang berasal dari tumbuhan dan hewan, yang telah dimurnikan, berbentuk cair dalam suhu ruang, serta digunakan untuk menggoreng. Berbeda dengan pemahaman masyarakat umumnya yang menyebut minyak goreng sawit sebagai minyak goreng, sesungguhnya jenis minyak goreng ada berbagai macam, diantaranya dari kelapa, kacang tanah, jagung, kedelai, bunga matahari dan kanola.

Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih familiar menggunakan minyak kelapa sawit dan minyak kelapa sebagai minyak goreng. Konsumsi minyak goreng di Indonesia sendiri mencapai sekitar 20 kg/kapita/tahun[1]. Sumber lain[2] menginformasikan konsumsi minyak goreng di tingkat rumah tangga pada tahun 2021 mencapai 11,58 liter/kapita/tahun. 

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah minyak goreng ini, Pemerintah mendistribusikan minyak goreng curah tidak lama setelah pencabutan HET minyak goreng sawit. Minyak goreng curah sendiri sebenarnya adalah minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen dalam kondisi tidak terkemas dan tidak memiliki label atau merk[3].

Dari aspek pengemasan, selain minyak goreng curah, dikenal juga minyak goreng kemasan sederhana dan minyak goreng kemasan premium. Salah satu contoh minyak goreng kemasan sederhana adalah MINYAKITA, sedangkan minyak goreng kemasan premium adalah minyak goreng kemasan yang dijual dengan berbagai merk. 

Pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan Nomor SNI 7709:2019. Sampai saat ini penerapan kebijakan wajib SNI bagi minyak goreng belum diterapkan, walaupun Kementerian Perindustrian telah menetapkan regulasi pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk minyak goreng sawit dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2019.

Dengan demikian, seharusnya per 1 Januari 2020 seluruh minyak goreng sawit wajib memiliki SNI.  Salah satu konsekuensi penerapan SNI secara wajib untuk minyak goreng adalah seluruh minyak goreng sawit harus dikemas. Oleh karenanya, pengemasan sederhana menjadi salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah untuk menerapkan kebijakan wajib SNI bagi minyak goreng dengan tidak memberatkan produsen akibat peningkatan biaya produksi (pengemasan).

Selain itu, penerapan wajib SNI bagi minyak goreng juga dipandang sebagai upaya mengurangi stunting dan peningkatan daya saing produk melalui implementasi fortifikasi vitamin A. Kadar vitamin A yang terkandung dalam minyak goreng diharapkan sebanyak 40 IU dengan ambang batas minimumnya adalah 20 IU. Vitamin A mudah rusak selama pengemasan, distribusi dan saat penggorengan oleh konsumen. Dengan begitu, kadar minimal 20 IU diestimasi masih memenuhi tujuan fortifikasi ketika dikonsumsi oleh masyarakat.

 Penelitian oleh Kusumawaty dkk (2019)[4] menunjukkan bahwa konsumen memiliki sikap positif terhadap minyak goreng curah maupun kemasan. Walaupun demikian, faktor penentunya berbeda. Minyak goreng curah disukai karena harganya yang murah, sedangkan minyak goreng kemasan disukai karena higienis. Dari sisi perilaku, konsumen memiliki perilaku yang lebih baik terhadap minyak goreng kemasan dibandingkan minyak goreng curah.

Dari sisi mutu, Lempang dkk (2016)[5] menyimpulkan bahwa minyak goreng curah rentan terhadap kerusakan akibat oksigen, cahaya dan suhu tinggi selama distribusi. Dari sampel minyak goreng curah yang diteliti, seluruhnya tidak memenuhi syarat kadar peroksida yang berpotensi meningkatkan kadar peroksida dalam lemak tubuh. Tingginya kadar peroksida dalam tubuh diasosiasikan dengan risiko penyakit jantung koroner (PJK), penyebab kematian terbesar di Indonesia menurut WHO (2016)[6].

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline