Lihat ke Halaman Asli

Reklamasi: Antara Jakarta dan Bali

Diperbarui: 13 September 2015   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendadak terdengar kabar rencana kunjungan anggota DPRD DKI Jakarta ke Bali. Kabarnya, para wakil rakyat dari ibukota itu akan belajar dan membandingkan antara rencana reklamasi Teluk Jakarta  dengan yang Teluk Benoa. Tapi konon kunjungan itu batal terlaksana. Entah apa penyebabnya. Jadi ataupun tidak, logika sederhananya jelas, para wakil rakyat Jakarta menilai rencana revitalisasi Teluk Benoa lebih baik dari rencana reklamasi Teluk Jakarta.

Rencana reklamasi Teluk Jakarta dengan revitalisasi Teluk Benoa sendiri memang memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Dari segi geografis. Keduanya sama-sama menjadi termpat bermuaranya sungai-sungai besar. Teluk yang menjadi muara sungai-sungai, umumnya mengalami masalah yang sama, yakni sedimentasi, lumpur dan belakangan juga sampah yang terbawa atau dibuang dari wilayah pemukiman yang dilaluinya

Teluk Jakarta memiliki bentuk yang terbuka, seperti huruf U yang melebar di bagian depannya. Seandainya saja tidak ada masalah kependudukan yang pelik (okupasi lahan untuk pemukiman, bantaran sungai yang menyempit karena hunian liar, sampah yang masuk ke sungai tak terbendung, termasuk buangan limbah industri ke sungai dan lain sebagainya), seharusnya Teluk Jakarta tak mengalami masalah berat jika dilihat dari letak dan bentuknya geografisnya.

Sementara Teluk Benoa secara geografis adalah sebuah teluk yang tertutup, seperti huruf G, karena bagian muka teluk terhalang oleh Tanjung Benoa, sementara bagian atasnya terdapat Pulau Serangan, yang secara otomastis membuat alur air atau arus laut yang masuk ke Teluk Benoa hanya melewati selat kecil di antara Tanjung Benoa dan Pulau Serangan yang saat ini digunakan sebagai jalur kapal-kapal yang menuju Pelabuhan Benoa yang berada di dalam teluk.

Dua teluk ini, juga memiliki kawasan mangrove yang berusaha dipertahankan. Di Teluk Jakarta ada kawasan mangrove di Muara Angke yang masuk dalam Hutan Lindung Muara Angke dan Suaka Margasatwa Muara Angke yang letaknya langsung menghadap laut bebas di Teluk Jakarta. Sementara di sikitar Teluk Benoa terdapat kawasan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai. Kawasan mangrove di Teluk Jakarta menanggung beban berat dari arah ‘belakang’ yakni dari kawasan pemukiman. Sementara kawasan Tahura Ngurah Rai yang membentang sepanjang Teluk Benoa dari utara Pulau Serangan hingga ke bagian dalam Tanjung Benoa plus Pulau Pudut, menanggung beban dari dua arah, dari ‘belakang’ pemukiman, dan dari depan ada pelabuhan dan tol Mandara.

Dari perbandingan dua bentuk teluk tadi (dengan permasalahan perkotaan yang sama), permasalahan yang dihadapi oleh Teluk Benoa jauh lebih pelik ketimbang Teluk Jakarta. Alur perputaran air laut di Teluk Benoa sangat terbatas, berbeda dengan di Teluk Jakarta yang terbuka. ‘Serangan’ dari ‘belakang’ di Teluk Benoa terlihat menjadi lebih berat, karena tidak bisa dialirkan langsung ke depan, terhalang Tanjung Benoa dan Pulau Serangan, termasuk aktivitas Pelabuhan Benoa. Oleh karena itu, sedimentasi lumpur –dan juga sampah—yang masuk ke Teluk Benoa menjadi sangat sulit dihindarkan. Kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai, ibarat diserang dari dua arah, beda dengan mangrove di Muara Angke.

Dari karakteristik kedua teluk ini, rencana reklamasi keduanya menjadi dua hal yang berbeda. Reklamasi di Teluk Jakarta –berbentuk pulau-pulau-- yang akan membentang dari timur ke barat, dari Tanjung Priok hingga ke Angke cenderung akan menutup wajah Muara Angke dan menambah tekanan terhadapnya menjadi dua arah, apalagi di luar sana, akan dibangun pula giant sea wall yang konon akan berbentuk burung garuda mengepak sayap. Jadi, reklamasi di Teluk Jakarta terlihat menjadi sebuah ‘pilihan’ yang bisa saja diambil, jika tetap menjaga perputaran arus di depan Muara Angke, dan mengurangi tekanan yang datang dari belakang dengan normalisasi kali, dan mencegah aliran sampah yang masuk.

Akan tetapi, lain cerita dengan di Teluk Benoa. Masalah sedimentasi yang terus meningkat (hingga saat ini tidak ada langkah konkrit dalam menanganinya), dan aktivitas di jalur masuk arus harus menjadi perhatian. Sedimentasi di sepanjang ‘wajah’ Tahura Ngurah Rai harus segera ditangani dengan cara melancarkan aliran air dari laut (dan tentu saja mengurangi tekanan di belakangnya). Rencana revitalisasi di Teluk Benoa yang akan membuat pulau-pulau di Teluk Benoa dengan jarak antar pulau 75-300 meter dan jarak ke kawasan mangrove minimal 100 meter, ditambah dengan pendalaman kanal-kanal, akan membuat asupan air ke kawasan mangrove menjadi lebih baik.

Dari sini sebetulnya terlihat bahwa, revitalisasi di Teluk Benoa yang salah satunya adalah untuk menjaga dan mengembalikan fungsi kawasan mangrove bukan lagi pilihan, tapi keharusan alias wajib. Sayangnya, para penolak revitalisasi Teluk Benoa tutup mata dengan kenyataan ini. Mereka berteriak-teriak untuk menolak sambil menutup mata, seolah tak terjadi apa-apa di Teluk Benoa. Dan, teriakannya itu, dengan terus mencari dukungan buta (misalnya meminta musisi luar yang tak paham untuk mengenakan kaos tolak reklamasi saat manggung di Bali), sama sekali tak memberi sumbangan terhadap perbaikan di Teluk Benoa, alias menolak tanpa alasan jelas dan tanpa aksi nyata untuk Benoa!

 

Nak Bali nawang melah agen Baline!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline