Lihat ke Halaman Asli

Cerpen "Sandal Mamak"

Diperbarui: 22 Juni 2023   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar canva

Matanya jelalatan mencari, terlampau fokus bak seekor ular tengah menarget tikus. Tatapannya terus bergerak ke arah macam-macam sandal yang bertumpuk di undakan masjid. Lantas mendaratlah mata bundar dan hatinya pada sepasang sandal berwarna soft beige. Manis, elegan, tidak bikin sakit mata. Kelihatan empuk dipakai dan sedikit kotor terkena tanah. Tapi tak masalah, dicuci sekilas pun pasti bakal kinclong. Sempurna!

Maula cepat-cepat memasangkan kedua kaki mungilnya ke sandal itu. Tarawih malam pertama di kala pandemi sungguh menuai berkah, pikirnya. Ia pun membaur bersama warga lain yang juga usai menunaikan ibadah khusus malam hari di bulan Ramadan tersebut. Adanya pandemi tidak membuat banyak perbedaan di kampung, kecuali kumpulan kertas di dompet Maula yang mula-mula bergambar Soekarno-Hatta, kini berganti menjadi Cut Meutia. Puji syukur bila cukup membeli semangkuk bakso dengan porsi paling murah, namun lebih sering hanya cukup untuk membeli royco. Ia baru saja terkena PHK.

Jika tadi kedua kaki Maula melangkah pulang dengan bahagia, lain halnya dengan Yosep. Kedua kakinya seolah terpasung di lantai masjid. Persendiannya mati rasa tatkala mencari-cari sandal yang bukan miliknya namun nihil. Badannya lemas seketika. Dengan sisa tenaga yang dipunya, ia mengirim pesan kepada Mamak.

Mak, malam ini Pepes nginap di rumah Yayat. Punten pisan[1] .

"Kunaon[2], Pes?" Ruhiyat memperhatikan kawannya yang sudah serupa patung gipsum. Pucat dan membatu.

Yosep menahan napas. "Aku ikut ke rumah, ya."

"Hayu[3], atuh. Aya naon[4], sih?"

Yosep bergeming, menatap kosong undakan masjid di bawahnya.
**

Sahur pertama Yosep lalui bersama Ruhiyat dan Asep. Semalaman Yosep gelisah tak bisa tidur. Tiga sekawan yang dikenal oleh satu kampung dengan julukan Tilu Jelema Gebloh [5] atau istilah kerennya Three Idiots karena sebagaimana tiga tokoh utama dalam film India tersebut, ke manapun pergi mereka selalu bertiga. Asep kemudian merantau ke Jakarta, meninggalkan Ruhiyat dan Yosep. Tetapi julukan itu masih ada bahkan sampai sekembalinya Asep ke kampung.

"Jadi...," Ruhiyat menghentikan siukan sendok di pinggan berisi karedok, memastikan pendengarannya yang masih separuh berlayar di pulau kapuk. "Maneh[6]  pinjam sandal Mamak, terus hilang pas selesai Tarawih kemarin?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline