Lihat ke Halaman Asli

Kalah Main Catur: Tentang Sikap Prabowo Mundur

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

22 Juli 2014.

"Kami menolak hasil Pilpres 2014. Kami menarik diri dari proses ini !"


Sangat disayangkan, sosok patriot dan kesatrya itu menolak hasil pilpres dan secara terbuka menarik diri dari proses demokrasi di detik-detik terakhir pengumumuman penetapan dari KPU.

Saya tidak habis pikir. Mengapa beliau melakukan ini? Makin kesini, ekspektasi positif saya terhadap beliau semakin tak pantas. Rasanya, saya makin tidak tepat menilai beliau. Kenapa beliau jadi cengeng dan drama begini. Sungguh saya tak menyangka beliau memilih sikap seperti ini. Apa yang bisa diharapkan dari seorang capres 'tegas, patriotik dan berwibawa' yang mendadak mundur dari kompetisi politik sebelum kompetisi itu selesai?

Pilpres 2014 ini -yang bagi banyak orang merupakan pilpres yang luar biasa karena booming antusias masyarakat, ternodai oleh pernyataan sikap politik beliau. Demokrasi tercederai. Banyak yang kecewa. Pendukung beliau pun mungkin kecewa. Bagaimana tidak, sosok tegas yang selama ini dikagumi dan digadang-gadang pantas untuk "menyelamatkan Indonesia" ternyata bersikap sebaliknya. Beberapa hari terakhir beliau dan timnya sesumbar mendeklarasikan kemenangan, namun beberapa jam sebelum penetapan, beliau mendadak "mengutuk" penyelenggaraan pilpres karena dianggap cacat hukum. Beliau menganggap telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematik. Saya ulangi, masif, terstruktur dan sistematik. Beliau mengucapkannya 3 kata sakti terakhir dengan intonasi yang sungguh patriotik.

Rakyat dibawah jadi bingung. Tegang. Masyarakat dibikin kacau, ketidakjelasan yang berpotensi menyulut konflik. Pendukung kedua kubu tak dibiarkan bersalaman. Malah, makin dibikin bersitegang. Sebuah kondisi yang tak baik bagi demokrasi negeri ini.

Namun, untungnya pilpres masih tetap berjalan normal. Sekitar jam 8 malam, akhirnya KPU dengan mantap menetapkan hasil rekapitulasi pilpres dengan damai. Sebuah kerja yang patut diapresiasi. Pesta rakyat 5 tahunan yang memakan biaya dan tenaga tak sedikit ini akhirnya menuju puncaknya.

Tgl 22 Juli ini memang puncaknya. Di depan TV dirumah masing-masing, rakyat harap-harap cemas bersiap untuk menyambut pemimpin barunya. Saya yang karyawan kantoran biasa yang bisa dibilang tak ada "kepentingan" secara langsung dengan Presiden, sangat bersemangat sejak pagi. Padahal saya bukan sodaranya, bukan partisipan parpol, bukan fanatik, bukan juga konsultan politik. Tak ada hubungannya. Jauh sekali. Namun sebagai anak Indonesia yang terdidik, saya merasa terlibat langsung, saya semacam menyaksikan sejarah baru bangsa ini. Tak akan saya lewatkan begitu saja. Hari ini akan menjadi cerita yang besar bagi anak cucu saya kelak.

Sejak pagi saya membayangkan nantinya ketika KPU sudah menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, kedua Capres bersalaman, berpelukan, berguyon dan sebagainya. Kemudian seluruh rakyat riuh bersorak, menyaksikan 4 orang negarawan yang secara sportif dan damai berkompetisi politik untuk merebut amanat rakyat. Merekalah putra terbaik bangsa. Bagi saya kondisinya sungguh ideal, satu pasang menjadi pemimpin pemerintahan, satu pasang lainnya mengambil tempat sebagai oposisi pemerintahan. Sungguh cantik pilpres kali ini. Tak ada yang kalah.

Tapi apa daya. Selayaknya orang bermain catur, ketika tahu dirinya akan diganjar skak mat oleh lawan. Bukannya menerima dan mengakui keunggulan lawan. Malah langsung membalikkan papan caturnya. Kamu curang!

Made Bhela Sanji Buana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline