Lihat ke Halaman Asli

Made Oka Cahyadi Wiguna

Dosen Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar

Hakikat Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Diperbarui: 29 April 2020   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rasanya seluruh umat dan bangsa mengetahui dan mengenal salah satu unsur dari aparat penegak hukum ini. Namun, di Indonesia rasanya tidak semua elemen masyarakat yang pernah mencari arti dari suatu keadilan di Pengadilan, mengetahui, mengenal atau merasakan hakikat dari jabatan hakim. Mengingat dalam banyak penyelesaian kasus, keadilan adalah suatu hal yang sangat berharga nan jauh dari aspek pencapaiannya. 

Ada beberapa kasus yang pernah terjadi dan bisa dikategorikan penyelesaiannya abai dari keadilan sebagai tujuan utama dari hukum itu sendiri. Sebut saja misalnya kasus nenek minah yang divonis penjara karena didakwa mencuri 3 (tiga) buah kakao, kemudian ada juga kasus Baiq Nuril Maknun korban pelecehan seksual yang justru dipidana penjara [1]. 

Tidak terlalu berlebihan rasanya jika berasumsi bahwa masih banyak lagi adanya kemungkinan terjadi model penyelesaian kasus seperti di atas di banyak daerah di Indonesia yang tidak terekam oleh media. Selain dari itu terdapat pula oknum Hakim yang ditangkap dan divonis karena terbukti menerima suap dalam kasus tindak pidana korupsi. Sebut saja misalnya kasus oknum Hakim Lasito pada Pengadilan Negeri Semarang yang menerima  suap dari Bupati Jepara Ahmad Marzuqi[2], kasus   oknum Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, R. Iswahyu Widodo dan Irwan yang juga divonis penjara karena menerima suap [3]. 

Dalam hal ini, praktik penegakan hukum oleh Hakim dapat dikategorikan belum sesuai dengan tujuan utama dari hukum sekaligus kontraproduktif dengan hakikat jabatan Hakim. Ada baiknya kemudian bagi para Hakim agar merenungkan kembali hakikat jabatan yang telah dan sedang diamanahkan kepadanya. 

Lalu, apa sesungguhnya hakikat jabatan hakim itu ?

Hakim "Abal-Abal"

Dalam bagian ini jauh adanya dari maksud untuk meniadakan keabsahan seorang hakim dari perspektif administratifnya. Abal-abal dalam uraian ini memberikan makna terhadap oknum hakim yang sah menjalankan jabatannya, namun tindakan dan kelakuannya belum memahami benar substansi dan hakikat jabatan yang sedang diembannya. Paling tidak, dari uraian awal tulisan ini terdapat dua persoalan besar dan mendasar tentang kepalsuan yang telah menjadi rahasia umum terkait jabatan ini. Permasalahan tersebut adalah pertama, oknum hakim yang sangat legalistik dan kedua, oknum hakim yang korup, berkolusi dan jauh mengangkangi nilai-nilai independensi sebagai seorang hakim. Permasalahan yang kedua ini sering juga dimasukkan ke dalam terminologi judicial corruption. Sikap legalistik dalam menyelesaikan suatu perkara hukum memang menjadi permasalahan akut yang dipraktikkan dalam dunia peradilan Indonesia. Sikap tersebut seolah-olah telah menjadi hukumnya dalam praktik penyelesaian suatu perkara, yang apabila dilanggar akan ada sanksi hukum yang siap ditimpakan kepada pelanggarnya. 

Sikap legalistik ini sesungguhnya adalah turunan dari legisme, suatu paham yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai satu-satunya hukum dalam suatu sistem masyarakat. Semuanya itu berpangkal dari filsafat positivisme hukum yang menempatkan hukum positif sebagai satu-satunya objek kajian dari ilmu hukum. Inilah paham penegakan hukum konvensional yang begitu kuat mengakar dalam ruang-ruang penegakan hukum di Indonesia. Bisa jadi hal tersebut dipengaruhi oleh proses pewarisan tradisi dan paham pada era kolonialisme oleh bangsa eropa khususnya Belanda. Paham ini sangat bersandar pada prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam hukum positif. Aspek non hukum terlebih prilaku sosial masyarakat yang telah terlegitimasi dalam kebiasaannya sehari-hari hampir tidak menjadi pertimbangan dalam memutus suatu perkara. Arah dari penegakan hukum yang dipraktikkan pun lebih cenderung menyasar pada arah kepastian hukum semata sebagai aksiologisnya. Hal itu dilakukan agar sesuai dengan peraturan dan logika hukum yang ada. Para hakim yang menjadikan paham ini sebagai sesuatu yang "sakral" tentu akan selalu bertindak sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Membunyikan berbagai ketentuan yang terkait dengan kasus yang sedang dihadapi. Kondisi tersebut akan berdampak pada ketiadaan kreatifitas hakim dalam melakukan terobosan hukum guna mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Satjipto Rahardjo memberikan padangannya berbagai pertimbangan masyarakat berkenan berperkara ke institusi Pengadilan, yaitu : "pertama, kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki, kedua, kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya lagi, ketiga, bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia, keempat, bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum"[4]. Ini artinya ada pengharapan yang besar dari masyarakat untuk mendapatkan keadilan dalam penyelesaian kasusnya di pengadilan. Ada semacam tanggung jawab moral yang seharusnya diperlihatkan dan diberikan oleh Pengadilan beserta segenap aparaturnya dalam rangka merealisasikan harapan masyarakat pencari keadilan.

Persoalan judicial corruption sejak era sebelumnya memang telah menjadi "virus" yang dapat mematikan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemandirian  dari aparatur penegak hukum termasuk hakim dalam penuntasan perkara di Pengadilan. Persoalan ini pun mencuat menjadi salah satu bagian dari agenda reformasi dunia peradilan Indonesia. Mahfud MD menjelaskan bahwa judicial corruption "menggambarkan penyalahgunaan jabatan dan profesi di lembaga peradilan untuk mengambil keuntungan pribadi secara tidak wajar dengan mengorbankan hukum dan keadilan"[5]. Dalam konteks ini, hukum dan keadilan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan oleh para oknum profesi hukum dalam penyelesaian suatu kasus tertentu. Tentu saja kenyataan tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan bahkan keengganan masyarakat untuk datang mencari keadilan di Institusi Pengadilan. Merujuk pada kondisi itulah kemudian keinginan untuk melakukan pembenahan terhadap dunia peradilan mengemuka di dalam agenda reformasi. Mahfud MD, menjelaskan terdapat logika sederhana mengapa pembenahan itu penting dilakukan, Indonesia terjerumus ke dalam krisis karena Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) marak terjadi, hal tersebut terjadi karena penegakan hukum tidak bisa berjalan dengan baik yang diakibatkan karena korupnya dunia peradilan (judicial corruption) di Indonesia[6]. Salah satu upaya yang dilakukan dalam proses membenahi dunia peradilan adalah dengan menyatuatapkan pembinaan hakim di bawah Mahkamah Agung. Namun, apakah upaya tersebut telah membuahkan hasil ?. Dapat dijawab dengan mudah bahwa upaya tersebut belum membuahkan hasil. Mengingat masih banyaknya oknum hakim yang justru memanfaatkan upaya tersebut untuk melakukan KKN, seperti beberapa oknum hakim yang disebutkan pada bagian awal tulisan ini.

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa terdapat oknum-oknum hakim yang abal-abal dari aspek prilaku hakim yang menyimpang dari apa yang seharusnya. Bahkan jauh mengangkangi sumpah jabatan hakim dan amanat konstitusi. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan kembali renungan kita bersama untuk mengingat kembali bagaimana sosok hakim itu seharusnya.  

Hakim Yang Hakiki

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline