Lihat ke Halaman Asli

Made Nisa Adriana

Magister Profesi Psikologi, Klinis Anak dan Remaja

Peran Orang Tua dalam Pembinaan Anak Berkonflik dengan Hukum, Sudah Optimalkah?

Diperbarui: 10 Juni 2023   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini kerap sekali kita temukan pemberitaan mengenai anak dan remaja yang terlibat sebagai pelaku tindak kriminal. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat dalam periode 2016 sampai 2022 terdapat 2.883 kasus anak yang menjadi pelaku kenakalan sehingga berhadapan dengan hukum. 

Baik negara dan orang memegang peranan vital untuk melindungi masa depan anak yang berkonflik dengan hukum dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Orang tua sebagai lingkungan primer anak diharapkan berperan dalam menjaga interaksi dan komunikasi yang hangat dengan anak, memberikan dukungan moral, tidak memberikan label negatif, dan memberikan pendidikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Sholikhati, 2015).

Sayangnya banyak pihak yang menyangsikan efektivitas peran orang tua untuk memulihkan kembali anak yang berkonflik dengan hukum ke keadaan semula. 

Utami dan Raharjo (2021) menyebutkan bahwa peran dan pola asuh orang tua yang kurang tepat dapat mendukung seorang remaja untuk melakukan kenanakan bahkan sampai pada tingkat tindak kriminal. 

Fakta ini pun menjadi pertimbangan ketika anak yang berkonflik dengan hukum menerima diversi pengembalian ke orang tua atau sudah menyelesaikan masa pidananya di LPKA dan akan kembali ke keluarganya, bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa anak setelah ini akan mendapatkan peran dan pola asuh yang tepat sehingga tidak mengulangi tindak kriminal?

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Ade Mulyadi selaku Divisi Kajian dan Pendidikan Publik dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung tanggal 30 Mei 2023 didapatkan kesimpulan bahwa peran orang tua belum dilibatkan secara optimal dalam proses pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum. Upaya optimalisasi ini dapat ditinjau dari sudut pandang Psikologi Forensik, khususnya peminatan Klinis Anak dan Remaja. 

Pertama adalah melakukan asesmen untuk menilai kapabilitas orang tua dalam membina anak yang berkonflik dengan hukum. Asesmen ini dapat dilakukan melalui alat ukur yang menilai serangkaian proses interaksi timbal balik antara orang tua dan anak yang bertujuan untuk mendukung perkembangan anak dalam berbagai aspek kehidupan. 

Kedua adalah merancang program penguatan di ruang lingkup keluarga agar keluarga dibekali pengetahuan, sikap, kemampuan, serta dukungan sosial dalam menghadapi tantangan ketika membina dan mendampingi anak yang berkonflik dengan hukum. Terakhir adalah memberikan saran terkait aturan besuk orang tua ke anak di LPKA dengan dasar bahwa orang tua adalah sumber dukungan psikososial terbesar bagi anak.

Saran yang dipaparkan di atas beberapa sudah diterapkan di negara lain, contohnya putusan pengadilan yang mengharuskan orang tua sering mengunjungi anaknya selama di LPKA sehingga dapat memperbaiki hubungan antara orang tua dan anak dan putusan pengadilan yang mengharuskan orang tua mengikuti parenting class atau support grup alcohol addiction apabila berdasarkan hasil asesmen ditemukan masalah utamanya terletak pada orang tua. Kajian dari sudut pandang Psikologi Forensik ini diharapkan dapat mendukung ketercapaian tujuan dan prinsip dari dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu untuk memajukan kesejahteraan anak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline