Lihat ke Halaman Asli

Tentang Sumpah

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah berapa banyak sumpah yang kita ucap? Tak perlu dihitung. Tapi mudah-mudahan pertanyaan itu bisa memancing perasaan betapa akrabnya kita dengan sumpah. Walau terkadang sumpah mengalami pertukaran arti dengan janji.

Layaknya janji, sumpah merupakan pernyataan tentang kesediaan yang diiringi tekad untuk melakukan suatu hal. Termasuk didalamnya untuk bertanggung jawab jika hal tersebut tidak tercapai atau si pengucap sumpah mengingkari apa yang telah disanggupinya. Yang membuat sumpah memiliki tingkatan lebih tinggi adalah adanya keterlibatan Tuhan didalamnya.

Umumnya sumpah diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci. Setidaknya itu yang tertulis di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sayangnya sumpah ini bagai pisau bermata ganda. Sumpah bisa menjadi baik atau buruk, tergantung siapa yang mengucapkannya.

Di mulut orang baik sumpah bisa menjadi landasan komitmen dalam menjalankan tugas yang diemban. Menjadi sebuah tanggung jawab moral yang berfungsi sebagai cermin ketika si pengucap sumpah mulai melenceng dari apa yang telah dituturkannya. Tapi sialnya jika sumpah ini keluar dari mulut dari seorang pembual. Sumpah tak lebih dari hanya sekedar sederet kalimat untuk melegitimasikan niat buruknya. Yang juga lazim terjadi adalah sumpah diucapkan tanpa keyakinan dari si pengucap untuk menuntaskan segala bentuk tanggung jawab yang ada dibaliknya.

Tapi saya yakin, pada tahun 1928, para pengucap sumpah itu bukanlah sekumpulan orang seperti itu. Bukan sekelompok pemuda tak bertanggung jawab atas apa yang telah diikrarkannya. Para pengucap sumpah itu adalah mereka yang tahu betul kesucian dari yang mereka ucap.

Dan kita sebagai penerusnya, walau tidak ikut mengucap sumpah tapi kita adalah bagian dari sumpah itu sendiri. Bagian dari bangsa yang bertekad untuk terus bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Dan dengan makin heterogennya penduduk bangsa ini, sumpah pemuda semakin relevan untuk menjadi landasan semangat persatuan yang sepertinya mulai luntur dari jati diri bangsa ini.

Mungkin kita harus menengok lagi apa yang dikatakan Muhammad Yamin pada hari itu, kita dapat memupuk persatuan dengan mulai mempelajari dan menghargai sejarah, keragaman bahasa dan adat-istiadat, pendidikan, juga kemauan. Atau kita semua sudah terlalu sibuk untuk memikirkan semua itu? Seperti mereka yang menjabat di atas sana.

Masih ingat sumpah bapak tahun 2009?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline