Lihat ke Halaman Asli

Mada Nova Red

Penulis Kidal

Perjuangan Buruh yang Mungkin Sulit untuk Dimenangkan

Diperbarui: 1 Mei 2022   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mayday atau tanggal 1 mei menjadi tapal perjuangan kelas buruh diseluruh dunia dalam rangka memperjuangkan hak haknya atas pemilik produksi dan pemilik modal. dalam sejarahnya sendiri pada 1 Mei 1886 terjadi aksi buruh dalam jumlah besar di Amerikat Serikat. 

Ada sekitar 400 ribu buruh yang ikut dalam aksi tersebut. Tuntutannya tetap sama, yakni pengurangan jam kerja dari 10 jam menjadi 8 jam dalam sehari. 

Aksi buruh saat itu berlangsung empat hari, mulai 1 Mei hingga 4 Mei dan berhasil dimenangkan, sehingga kemudian tiap 1 Mei diperingati sebagai hari buruh atau May Day. 

Seperti yang dikatakan Karl Marx dalam tulisannya yakni bab tentang Teori tentang Upah, Harga, dan Keuntungan, bahwa kenaikan dan penurunan upah itu ditentukan dari perjuangan kelas antara proletariat (buruh) dan kelas borjuis, kenaikan upah berarti keuntungan bagi kelas proletar, menjadi penurunan dan kerugian bagi kelas borjuis, sedangkan penurunan upah merupakan kerugian bagi kelas proletar, dan keuntungan bagi pihak borjuis, namun berikutnya menurut Karl Marx, alih alih kaum buruh hanya menuntut upah layak, gerakan kelas buruh harusnya menuntut penghapusan sistem upah, yang menurut Karl Marx, selama ada sistem upah maka alienasi dan eksploitasi akan terus dialami kelas buruh.

Namun catatan sejarah yang kemudian menjawab, perjuangan kelas yang telah ratusan tahun diperjuangkan nyatanya memang sulit mencapai kemenangan, campur tangan pemerintah sebagai pengatur ekonomi pun nyatanya timpang, kita hanya diberi ilusi ilusi yang seolah olah membela kaum kecil namun keberpihakan tetaplah kepada para pemodal besar, tentu sering kita mendengar di negara kita akan dibuka jutaan lapangan kerja baru, bagai angin surga, tapi kenyataanya hanyalah sumber malapetaka baru, rakyat nyatanya hanya dijadikan buruh buruh baru oleh investor dan pemodal pemodal baru dan lahirlah problematika baru nantinya yang ujung ujungnya adalah perjuangan kelas lagi, dan pemerintah lagi lagi akan pro pemodal besar, Dan pertanyaanya, mengapa bisa begitu?

1. Cost of Politic yang besar dan Kapitalisme Demokrasi

Di negara demokrasi yang katanya pemimpin lahir dari rakyat dan dipilih oleh rakyat nyatanya adalah satu kebohongan belaka, justru di negara demokrasi pada praktiknya adalah, seseorang yang ingin maju untuk memimpin menggerakan seluruh sumber daya dibelakangnya yang dia miliki, untuk menggerakan keadaan agar masyarakat mau memilihnya. 

Hal tersebut yang kemudian memunculkan cost of politic yang besar, belum berbicara soal kampanye, sekedar untuk mendapat rekomendasi dari partai politik saja di Indonesia sudah harus mengeluarkan mahar politik kepada partai, lalu diranah kampanye selain dana kampanye yang resmi yang juga sudah besar, ada juga dana yang tidak resmi untuk mempengaruhi pemilih diperlukan berbagai metode tak terlihat seperti branding dengan membeli media massa, yang juga butuh dana besar hingga cara yang lebih pragmatis seperti money politic kepada masyarakat, sehingga darimana kemudian pendanaan bisa didapat? 

Ada dua kemungkinan yang pasti, yakni yang pertama calon berasal dari orang kaya atau pemodal besar, yang kedua adalah ada sponsor dari pemodal besar dibelakangnya. sehingga sudah bisa dipastikan kemana keberpihakannya, sehingga terciptalah kapitalisasi demokrasi atau oligarki di dalam kepemerintahan kemudian melaui aturan aturan dan kebijakan yang pemerintah buat.

*2. Pola Pikir Pemerintah Yang Kapitalis dan Pragmatis dan Ideologi Pancasila Yang Hanya Menjadi Jargon Nihilisme*

Sering kita mendengar pemerintah mengelu elukan persatuan bangsa, dan menyebut mereka yang tidak mau bersatu dianggap tidak Pancasilais, sedangkan ketika bersatu nyatanya kesejahteraan sosial diabaikan, yang terjadi tetaplah ikan besar memakan ikan kecil, yang miskin tetap miskin yang kaya tetap kaya, namun dipaksa bersatu, dan dituduh tidak Pancasilais jika mempertanyakan atau mengkritisi persatuan yang omong kosong tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline