Hari ini, Rabu 8 Februari 2017, seperti biasa saya berselancar di Facebook. Ketika scroll layar laptop, saya berhenti sebentar untuk menyimak gambar (atau mungkin lebih tepatnya poster) yang diunggah oleh akun Facebook resmi Divisi Humas Mabes Polri. Posternya sebagai berikut.
Saya (dengan berpikir positif) mencoba memahami bahwa pesan yang ingin disampaikan Polri adalah agar masyarakat tidak menulis secara sembarangan, agar masyarakat tidak menyebarluaskan opini yang menyesatkan, agar setiap tulisan dan pikiran yang disebarluaskan kepada khalayak adalah tulisan yang benar dan tidak menyesatkan. Pesannya baik, tapi cara penyampaiannya sangat buruk.
Nah, yang jadi masalah bagi saya yang awam, Pak (saya sebut Polri dengan "Bapak" saja boleh kan?), bahasa yang digunakan adalah bahasa asal menakuti. Baiklah, mungkin salah satu tugas Bapak memang untuk mewujudkan masyarakat yang sadar hukum dan tidak melanggar hukum. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menakut-nakuti dengan sanksi hukum yang berdasarkan produk hukum.
Kebetulan Bapak kan penegak hukum dan Indonesia adalah negara hukum. Lantas, saya mencari dasar hukum dari pernyataan di atas, tapi saya tidak dapat menemukan. Saya hanya menemukan tagar #Divhumaspolri saja. Kalau ternyata saya yang kurang jeli, saya mohon maaf ya Pak.
Berikutnya, kesan yang sekilas saya tangkap ketika membaca poster di atas adalah bahwa segala tulisan opini bisa membuat penulisnya masuk penjara. Bagi saya, kesan ini kurang baik, Pak. Pasalnya, Indonesia adalah negara demokrasi di mana kebebasan mengemukakan pendapat dijamin oleh konstitusi. Ini era Reformasi, bukan lagi era Orde Baru di mana masyarakat takut untuk mengemukakan pendapat terhadap penguasa dengan segala kebijakannya.
Kemudian tentang "tulisan opini" itu sendiri. Tulisan opini seperti apa, Pak, yang bisa menjadikan penulisnya masuk penjara? Kalau yang masuk penjara adalah "penulis opini yang tidak berpikir", setahu saya semua tulisan opini (baik yang menurut Bapak sesuai hukum maupun melanggar hukum) pasti melalui proses berpikir. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang bisa menulis tanpa berpikir. Lantas, tulisan yang seperti apa, Pak? Apa dasar hukum yang bisa menjadi rujukan masyarakat, khususnya warganet Indonesia? Mengapa tidak disebutkan? Apakah dasar hukumnya adalah kata-kata #Divhumaspolri?
Kalau misalnya saya bekerja di Divisi Humas Polri dan diminta membuat poster dengan pesan serupa, saya akan membuatnya dengan bahasa yang seramah mungkin. Pasalnya, citra dan reputasi Polri di mata masyarakat sedang kurang baik, Pak, kalau bisa dikatakan sangat jelek. Mungkin saya akan merangkai kata-kata seperti ini:
"Konstitusi UUD 1945 menjamin dan melindungi hak warga negara untuk bebas mengemukakan pendapat.
Silakan beropini, tapi secara bertanggung jawab dan sesuai hukum.
Pelaku penyebaran informasi palsu/provokatif dapat dikenai sanksi *sanksinya apa* sesuai Undang-undang RI *nomor, tahun, pasal, ayat, bunyi*
Kebebasan beropini secara bertanggung jawab dan sesuai hukum adalah impian kita bersama
#Divhumaspolri"