Desember 2018, persisnya tanggal 4 pukul 19.12 WIB artikel pertamaku tayang di Kompasiana. Test CPNS dan Pentingnya Adaptasi di Era Disrupsi, itu judulnya. Sumringah rasanya, melihat tulisan sendiri terpampang di salah satu blog terbesar di Indonesia. Sebelum itu, memang nikmat menulis opini di beberapa koran rujukan NTT yang berbasis di Kupang.
Akan tetapi, menulis di Kompasiana, berskala nasional, dengan nama besar Kompas Gramedia Group di dalamnya, itu kemudian tampak jauh lebih memikat menjadi seorang penulis. Sensasinya sungguh berbeda. Artikel pertama itu seperti menjadi vitamin kognisi yang sempurna, melipatgandakan semangat, menajamkan insting dan kepekaan pada gejala dan fenomena sosial, lalu mengkonversikannya menjadi sebuah tulisan.
Menjalani profesi sebagai pengajar pada sekolah pelosok di pedalaman Timor Barat, dan memiliki passion menulis, bagi saya itu adalah karunia Ilahi yang wajib disyukuri.
Waktu berlalu, satu persatu artikel pendidikan, humaniora, pariwisata, hobi, silih berganti tayang. Tulisan ke-59 ini menjadi semacam curhat, atau bahasa kerennya review singkat, 12 bulan menjadi Kompasianer. Ada beberapa poin penting, bagaimana Kompasiana dengan tagline Etalase Warga Biasa memainkan peran krusial sebagai corong informasi dengan kaum awam non jurnalis sebagai instrumen pentingnya.
Jurnalisme warga, roh yang bikin hidup Kompasiana. Sebagai warga masyarakat biasa, dari platform ini, saya belajar satu sisi penting jurnalisme, yakni jurnalisme berdampak (journalism with an impact).
Sisi ini menunjukan manfaat jurnalisme bagi kebaikan publik. Jurnalisme yang membawa dampak sosial positif. Saya mengalaminya setelah menayangkan artikel berjudul Keren, Kebun Jagung Swalayan dengan Konsumen Milenial di Adonara-NTT pada 9 Januari 2019.
Artikel tersebut mengulas konsep marketing ala swalayan yang diterapkan seorang petani di Adonara. Kamilus Jumat, sang petani inspiratif itu mengemas model marketing untuk bulir-bulir jagung muda di kebunnya, mulai dari promosi masif di jejaring media sosial, hingga metode self service, di mana konsumen memilih jagung sendiri langsung di kebun, dengan bantuan keranjang anyaman daun lontar sebagai wadah, dan berakhir pada loket pembayaran di gubuk kebun.
Dua minggu setelah artikel itu tayang, kebun itu dikunjungi sejumlah mahasiswa dari Universitas Nusa Nipa di Maumere Flores. Mereka tertarik mempelajari konsep dan inovasi pemasaran yang dikembangkan sang petani itu, setelah membaca artikel di Kompasiana. Hal yang tidak saya duga sebagai penulis.
Berikut, sebagai penulis yang tinggal di Timur Indonesia dengan akses internet yang terbatas, bagi saya Kompasiana telah membentang karpet merah bagi banyak penulis dari pelosok-pelosok Indonesia, untuk turut berkontribusi pada pengembangan daerah melalui tulisan.
Banyak artikel tentang destinasi pariwisata, budaya, kearifan lokal, kuliner, pemerintahan daerah, yang ditulis para penulis pelosok seperti go nasional. Ragam informasi unik mengalir dari pelosok-pelosok negeri ke pusat Indonesia, dengan Kompasiana sebagai jembatan utamnya.
Pada titik ini, rasanya pergulatan Pepih Nugroho dalam membangun dan mengembangkan Kompasiana sebagai media sosial khas Indonesia benar-benar terwujud. Ini adalah sebuah ikhtiar mulia, tentang bagaimana bergotong royong membangun Indonesia dalam untaian kata-kata. Kompasiana akhirnya menjadi rumah besar dengan jutaan Kompasianer sebagai penghuninya.