Artikel ini ditulis dengan inspirasi dari sosok seorang perempuan tani, sekaligus orang tua tunggal untuk dua orang anak. Namanya, Ina Kidi Uhen. Usianya 54 tahun dari Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur-Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebagai petani lahan kering, ia tidak pernah berpikir bahwa kedua anaknya kelak akan bersekolah sampai meraih gelar sarjana. Martina (28) anak pertama adalah lulusan Sekolah Tinggi Pelayaran di Makasar dan kini bekerja di Jakarta dan sang adik Martin (25), alumni Jurusan Kesehatan Lingkungan pada Politeknik Kesehatan Negeri Kupang, saat ini mengabdi pada sebuah Puskesmas di Adonara.
Sejak kecil, Ina Kidi hidup bersama ibu dan adik perempuannya, Ina Hunu (45). Pada tahun 2000, disepakati, sang adik berangkat merantau ke Malaysia, sementara Ina Kidi tetap di kampung menemani dan merawat sang mama. Sang adik inilah sponsor utama pembiayaan sekolah hingga kuliah kedua anak Ina Kidi. Model sponsorhisp seperti ini hampir dilakukan semua keluarga di Adonara NTT hingga kini.
Tulisan ini ingin menggali nilai kultur kearifan lokal, yang berkontribusi positif pada bidang pendidikan. Sampelnya adalah praktek cerdas memajukan pendidikan berbasis kearifan lokal, yang dijalankan masyarakat Adonara, pulau kecil di ujung Flores bagian Timur, Nusa Tenggara Timur. Paparan berikut ini ingin menunjukan seberapa kuat irisan relasi keduanya.
Pertama, secara kultur, etnis Lamaholot yang menghuni Pulau Adonara terkenal dengan kebiasaan merantau, terutama ke Sabah, Malaysia Timur. Tradisi merantau ke Malaysia sudah dilakukan orangtua dulu ketika di Malaysia masih mengenal zaman British. Hal ini dibuktikan dengan adanya istilah "Perantau British", frase yang populer di era 80an, untuk merujuk generasi tua Lamaholot yang merantau berpuluh tahun sebelumnya dan sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia hingga kini.
Puncak kejayaan sejarah pekerja migran etnis Lamaholot di Malaysia sangat terasa pada rentang waktu 1980 sampai awal 1990an. Pada periode itu, di Adonara, orang berbondong-bondong berangkat ke Sabah, setiap dua minggu sesuai jadwal kapal PELNI yang melayani rute Larantuka-Nunukan. Rata-rata, 9 dari 10 keluarga mengirim salah satu anggota keluarga merantau ke Sabah Malaysia.
Benefit secara ekonomi benar-benar dirasakan kala itu. Ekonomi keluarga membaik. Rumah warga yang dulunya beratap rumput ilalang, berdinding bilah bambu diganti. Banyak perantau membangun rumah permanen nan megah. Kelimpahan puing-puing Ringgit juga mendorong banyak orang tua mulai berpikir tentang investasi pendidikan anak-anak untuk masa depan.
Maka lahirlah skema pembiayaan pendidikan yang unik. Jadi, di Adonara, dalam satu keluarga, satu atau dua anggota keluarga berperan menjadi "fund raiser", dengan bekerja di Malaysia.
Hasil upah disisihkan dan dikirim ke kampung untuk membiayai anggota keluarga lain yang didorong untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini pula yang dilakukan Ina Kidi dan keluarga kecilnya.
Semua dilakukan dengan ikhlas, semata-mata untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, juga untuk mengangkat martabat lingkaran keluarga secara sosial. Hasilnya memang dasyat.
Banyak pegawai, pejabat, polisi/tentara, wirausahawan asal Adonara, sukses dari hasil keringat para anggota keluarga yang bekerja di Malaysia. Pada tataran ini, terbukti bidang pendidikan berkontribusi besar pada putusnya rantai kemiskinan, dengan kultur merantau sebagai pintu masuknya (entry point).