Lihat ke Halaman Asli

MN Aba Nuen

Pengajar

Toineke-Oehani, Nasibmu dari Pemilu ke Pemilu

Diperbarui: 29 Januari 2019   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah warga terkena dampak banjir di Toineke. Foto dokpri.

Bencana alam memang umumnya sulit diprediksi datangnya, tetapi beberapa dari itu bisa diprediksi. Banjir dan longsor ini sebenarnya bisa diperkirakan. Indikasinya bisa diamati dari kejadian atau situasi tertentu seperti hujan berkepanjangan yang berpotensi banjir atau longsor di tanah berkontur miring dan berbukit. 

Mengamati peristiwa bencana banjir dalam sembilan tahun terakhir di desa Toineke dan wilayah Oehani yang mencakup desa Tuafanu, dan Kiufatu Kabupaten Timor Tengah Selatan-NTT bagi saya bikin sedih sekaligus kesal. 

Sedih karena kejadiannya berulang-ulang, selama musim hujan, tiap tahun. Kondisi kerentanan bencana di wilayah ini dihadapi masyarakat dalam kesendirian dan kepasrahan mereka, dengan minimnya perhatian pemerintah untuk mencegah banjir datang di setiap musim hujan. Itu letak kesalnya. 

Secara geografis, wilayah desa Toineke dan Oehani terletak di dataran rendah pesisir Selatan Pulau Timor yang membentang dari Kecamatan Amanuban Selatan, Kualin dan Kolbano di Kabupaten TTS. Sejumlah bagian dari ketiga wilayah kecamatan ini langganan banjir tiap tahun. 

Letak desa Toineke persis di bantaran kali Noemuke memang sangat rentan dengan banjir. Tingginya sedimentasi di kali Noemuke membuat aliran air gampang meluap. 

Kali Noemuke. Foto dokpri

Banjir bisa datang meski hujan hanya melanda kawasan hulu di bebukitan Kecamatan Kuanfatu dan Noebeba. Banjir kiriman, itu yang sering bikin warga di dataran rendah terutama Toineke dan Oehani meradang. 

Kejadian terakhir pada medio Desember 2018 lalu, saat itu sebagian warga Toineke dan Oehani kaget dengan munculnya banjir dan material lumpur di wilayah mereka disaat cuaca wilayah itu cerah ceria. Rumah, sekolah, tempat ibadah, pekarangan, kebun, kandang ternak, semuanya terendam. 

Apa boleh buat, warga hanya bisa pasrah, menunggu hadirnya panas matahari mengeringkan genangan air di rumah dan pekarangan warga. Banjir terparah pernah terjadi tiga tahun berturut-turut pada 2011, 2012 dan 2013. Cakupan wilayah yang tergenang ketika itu sangat luas.  Bencana itupun menjadi KLB di TTS. 

Sayangnya, kejadian menahun itu tidak pernah jadi pelajaran, terutama oleh pemerintah sebagai otoritas utama. Bertahun-tahun nyaris tidak ada tindakan mitigasi selain satu-satunya jalan normalisasi kali Noemuke yang kemudian menjadi masalah pada 2014 lalu. Normalisasi yang dilakukan kala itu tetap tidak menjadi solusi karena faktanya aliran banjir tetap meluap masuk pemukiman warga. 

Sumber : dokpri

Frekuensi banjir yang rutin melanda Toineke dan Oehani selama ini hemat saya bisa dikurangi dengan cara membuat sebanyak mungkin saluran/kanal air. Kanal-kanal itu langsung menuju ke laut. 

Banjir yang menggenangi wilayah pemukiman warga butuh waktu lama untuk kering, karena kontur tanah yang datar membuat aliran air tidak lancar.  Maka kanal diperlukan untuk mengarahkan air bisa mengalir masuk ke laut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline