Lihat ke Halaman Asli

MN Aba Nuen

Pengajar

Pelajaran Toleransi di Sarang Perantau, Witihama

Diperbarui: 23 Desember 2018   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umat Muslim dan Katolik dalam acara halal bihalal di Witihama (Sumber: kupang.tribunnews.com)

Masa kanak-kanak, bulan Desember dan kampung halaman; ketiganya jika dikenang, akan membuat saya homesick sekaligus ingin kembali jauh ke suatu tempat, Witihama. Letaknya di bagian Timur pulau Adonara. Adonara, Flores dan Solor ibarat pilar segitiga yang membentuk Kabupaten Flores Timur, NTT.  

Secara geografis, Laut Flores ada di utara batas kecamatan Witihama, di selatan berbatasan dengan Gunung Boleng, Timur dengan Selat Boleng dan Kecamatan Kelubagolit di ujung Barat. Kontur wilayahnya mirip cekungan kuali dengan belahan membujur di sisi barat menembus sisi Timur. 

Di pinggir cekungan itu, pada sisi selatan, berdiri menjulang gunung Boleng. Di Selatan dipagari bebukitan yang memanjang dari Barat Laut hingga Timur Laut, mengarah ke Kabupaten Lembata. Luas wilayahnya mencapai 77,97km2, dengan jumlah penduduk sekitar 14.562 jiwa. Ada 16 desa di sini. Pusat administrasi kecamatan ada di wilayah desa Oringbele.  

Kabupaten Flores Timur sebagian besar didiami etnis Lamaholot. Etnis ini juga menghuni Kabupaten Lembata dan beberapa tempat di Kabupaten Alor. Secara kultur, etnis Lamaholot terkenal dengan kebiasaan merantau, terutama ke Sabah, Malaysia Timur. 

Konon, kebiasaan tradisi merantau ke Malaysia sudah dilakukan orangtua dulu ketika di Malaysia masih mengenal zaman British. Hal ini dibuktikan dengan istilah "teken British" (merantau di zaman British). Term ini populer di era 80an untuk merujuk generasi tua Lamaholot yang merantau berpuluh tahun sebelumnya dan sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia hingga kini.  

Puncak kejayaan atau masa emas sejarah pekerja migran asal Lamaholot di Malaysia sangat terasa pada periode 1980 sampai awal 1990an. Pada periode itu, di Witihama, orang berbondong-bondong berangkat ke Sabah, setiap dua minggu sesuai jadwal kapal Pelni yang melayani rute Larantuka-Nunukan. 

Rata-rata, 9 dari 10 keluarga mengirim salah satu anggota keluarga merantau ke Sabah Malaysia. Manfaat secara ekonomi benar-benar dirasakan kala itu. 

Ekonomi keluarga membaik. Rumah warga yang dulunya beratap alang-alang, berdinding bambu diganti. Banyak perantau membangun rumah permanen nan megah. Kelimpahan puing-puing Ringgit juga mendorong banyak orang tua mulai berpikir tentang investasi pendidikan anak-anak untuk masa depan. Maka lahirlah skema pembiayaan pendidikan yang unik. 

Jadi, di Witihama, dalam satu keluarga, satu atau dua anggota keluarga menjadi fundraiser, dengan bekerja di Malaysia. Hasil upah disisihkan dan dikirim ke kampung untuk membiayai anggota keluarga lain yang didorong untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. 

Semua dilakukan dengan ikhlas, semata-mata untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, juga untuk mengangkat harkat martabat lingkaran keluarga secara sosial. Hasilnya memang dahsyat. 

Banyak dokter, pejabat, pegawai, polisi/tentara, wirausahawan yang saat ini sukses dengan hasil keringat para anggota keluarga yang merantau. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline