Lihat ke Halaman Asli

MN Aba Nuen

Pengajar

Guru dan Fraud Dana PIP

Diperbarui: 5 Desember 2018   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 logo PIP (kemdikbud.go.id)

Guru adalah sumber teladan bagi peserta didik. Tesis ini kembali mendapat tamparan keras, utamanya untuk guru-guru di Nusa Tenggara Timur. 

Pada peringatan hari guru nasional 25 November 2018, kabar menggelikan datang dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pertama, ulah oknum kepala sekolah sebuah SMP Negeri yang terindikasi menggelapkan dana Program Indonesia Pintar (PIP) mencapai Rp. 210.750.000. 

Kedua, kasus serupa dilakukan seorang oknum ibu guru kepala SD di Niki-Niki dengan jumlah dana sebesar Rp.16.800.000. Kasus pertama bermula dari musibah kebakaran gedung kantor di SMPN 3 Amanuban Selatan pada 6/11/2018. Kepada polisi, kepala sekolah mengaku dana PIP sebesar Rp.200.750.000 yang tersimpan dalam brankas ikut terbakar. 

Dua hari kemudian, uang sejumlah itu justru ditemukan polisi di rumah kepala sekolah saat melakukan penggeledahan. Ia akhirnya harus menjalani pemeriksaan oleh pihak kepolisian dari Polres TTS.. Kasus serupa berikut, MB, oknum kepala SD di Niki-Niki yang berdalih dana PIP sejumlah Rp.16.800.000 yang disimpan di rumahnya dicuri roh halus sebesar Rp.10.000.000. Sisa dana Rp.6,8 juta dipakai untuk operasional sekolah. MB lantas berjanji mengembalikan semua uang tersebut. Ini kado pahit menyambut hari guru bulan ini..

Kedua kasus ini merupakan antitesis, sekaligus tragedi bagi dunia pendiidkan NTT yang sedang giat bangkit dari segala keterpurukan. Sungguh tega, jika yang disasar itu dana PIP. Program Indonesia Pintar bergulir berdasarkan Permendikbud No. 12 Tahun 2015 dan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, PIP, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.  

Pemerintah menyediakan dana PIP melalui bantuan tunai dengan tujuan yang sangat mulia.     Fokusnya pada peningkatan akses anak usia 6-21 tahun untuk mendapat layanan pendidikan hingga sekolah menengah, termasuk mencegah mereka dari kemungkinan drop out, serta menarik siswa putus sekolah untuk kembali bersekolah.

Artinya, ini adalah dananya para siswa dan orang tua miskin di pelosok-pelosok kampung. Uang ini sangat berarti bagi mereka, yang sedang merintis jalan perbaikan kehidupan dengan pendidikan sebagai pintu masuknya. Mereka membutuhkan uang ini, atas sejumlah kondisi yang mereka hadapi, selain karena faktor ekonomi keluarga yang terbatas, juga karena sebagian besar sekolah di NTT masih melakukan pungutan seperti iuran komite kepada siswa. 

Lalu mengapa hak anak-anak itu mesti dirampas? Oleh gurunya sendiri? Sedih. Guru dan sekolah sebagai entitas bersemainya ilmu pengetahuan dan nilai-nilai karakter mulia harusnya menjadi pengayom yang sempurna bagi pemenuhan hak dasar anak di bidang pendidikan. Fungsi pengayoman itu terinternalisasi dalam proses saling berbagi ilmu pengetahuan (sharing knowledge), dan juga pembentukan nilai karakter (character building) diri anak dengan guru sebagai modelnya. 

Merujuk pada kasus di atas dan relevansinya dengan proses pembentukan karakter anak, maka peran suri teladan ibu dan bapak kepala sekolah ini tak lagi mendapat tempat, tidak hanya dihati siswa-siswi, tetapi juga para orangtua/wali murid.

Soal kesejahteraan, kurang apa perhatian pemerintah kepada guru-guru PNS? Sebagai gambaran, pada tahun 2018, alokasi anggaran pendidikan 20% dari total APBN mencapai Rp. 444,13 triliun. Dari jumlah itu, lebih dari Rp. 200 triliun dilimpahkan dalam bentuk transfer ke daerah-daerah, termasuk untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Tunjangan profesi guru PNSD Rp. 58,293 triliun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline