Lihat ke Halaman Asli

achmad

aparatur

Pejabat TakTakut Korupsi, Lalu Siapa yang Ditakuti?

Diperbarui: 13 September 2024   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PEJABAT TAK TAKUT KORUPSI, LALU SIAPA YANG DITAKUTI?


Jumat pagi yang cerah, sinar mentari bersinar dengan terangnya hingga mampu menghangatkan badan. Suasana yang hangat tersebut berubah menjadi agak memanas tatkala membaca berita di media onlie yang mengabarkan:

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pejabat di Indonesia sekarang tidak takut untuk melakukan korupsi. Hal itulah yang membuat indeks persepsi korupsi di Indonesia menurun.
"Saya kan juga banyak menerima informasi dan mendengar cerita dari para penyelenggara negara pejabat-pejabat. Sekarang orang nggak takut lagi Pak untuk korupsi," kata Alex di kawasan Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/9/2024).

(cuplikan artikel detiknews, "KPK Sebut Pejabat Sudah Tak Takut Korupsi: Risiko Rendah, Keuntungan Tinggi" https://news.detik.com/berita/d-7538124/kpk-sebut-pejabat-sudah-tak-takut-korupsi-risiko-rendah-keuntungan-tinggi.)

Bagi sebagian orang awam akan merasa miris membaca pernyataan pimpinan KPK tersebut, bagaimana tidak, pejabat yang bertugas memberantas korupsi berani menyatakan situasi yang bertolak belakang dengan tujuan penegakan hukum, yaitu agar ada efek jera, tidak takut melakukan korupsi, supaya tindakan korupsi tidak terulang lagi. Namun penegakan hukum yang telah diupayakan selama ini dinilai belum membuat jera sebagian pelaku.


Timbul berbagai asumsi, apakah benar penegakan hukum tindak pidana korupsi yang saat ini sedang digiatkan dinilai kurang efektif dalam memberantas korupsi?  Apakah ada upaya/strategi lain agar pejabat yang rawan berpotensi melakukan korupsi  mengurungkan niat jahatnya? Tentu ini menjadi problem kita bersama. Namun pada kesempatan ini penulis tidak membahas masalah tersebut. Penulis akan mengemukakan pentingnya efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi alias koruptor.


Dalam bukunya Dei Delitti e Delle Pene (Tentang Kejahatan dan Hukuman), Cesare Beccaria menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan di masa depan, baik oleh pelaku (efek jera khusus) maupun masyarakat (efek jera umum). Beccaria berargumen bahwa hukuman yang ringan, tetapi pasti dan cepat, lebih efektif dalam menciptakan efek jera daripada hukuman yang berat tetapi jarang diterapkan.

Beccaria juga menekankan pentingnya kepastian hukum dalam menciptakan efek jera. Jika masyarakat yakin bahwa pelanggaran hukum akan diikuti oleh hukuman yang cepat dan pasti, maka efek pencegahan akan lebih kuat.


Para ahli hukum memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai tujuan hukuman dalam memberikan efek jera. Secara umum, ada dua tujuan utama yang dikaitkan dengan efek jera, yaitu:

a.  Efek Jera Khusus (Special Deterrence): Hukuman yang diberikan bertujuan untuk mencegah pelaku yang sama agar tidak mengulangi kejahatannya.

b.  Efek Jera Umum (General Deterrence): Hukuman yang diberikan bertujuan untuk memberikan peringatan kepada masyarakat secara luas agar tidak melakukan kejahatan serupa.


Bahwa upaya penegakan hukum dalam rangka memberikan efek jera dimaksudkan untuk menciptakan rasa takut akan konsekuensi dari pelanggaran hukum, sehingga baik pelaku maupun masyarakat berpikir tujuh kali sebelum melakukan tindakan melanggar hukum terutama tindak pidana korupsi. Supaya pejabat maupun pihak terkait lainnya merasa takut melakukan tindak pidana korupsi.


Sesuai data yang dirilis KPK, selama 3 tahun (2021-2023) terakhir, KPK telah melakukan penindakan tindak pidana korupsi hingga meja hijau, dengan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun, sebagai berikut:

Tahun 2021 : 108 perkara

Tahun 2022 : 120  perkara

Tahun 2023 : 161 perkara

(Sumber : https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara)

Berdasarkan data tersebut, maka tujuan Efek Jera Khusus (Special Deterrence) seakan-akan belum berhasil, hal itu tergambar dengan makin banyak tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun, meski penindakan tipikor telah ditegakkan, baik oleh KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan.


Dilihat dari sudut pelaku atau koruptor, masih banyak pelaku korupsi yang melibatkan anggota keluarga atau orang dekat di sekitarnya. Ada yang pelakunya anak-bapak, adik-kakak, suami-istri (https://www.inilah.com/daftar-kasus-korupsi-yang-libatkan-keluarga).  Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tujuan penegakan tindak pidana korupsi supaya timbul Efek Jera Umum (General Deterrence) nampaknya belum terwujud.


Menurut penulis, jika koruptor tidak takut melakukan korupsi, maka takutlah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengingatkan pada diri sendiri bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Jika tindakan rasuah tersebut lolos dari proses peradilan di dunia, yakinlah akan ada sanksi sosial di lingkungan masyarakat, dan sebagai orang yang beriman akan takut pada pengadilan akherat kelak. Harta yang didapatkan dari hasil korupsi tidak berkah, dan biasanya merugikan hak orang lain.   

Meski saat ini ada sebagian orang tak takut melakukan tindakan korupsi, hukum harus terus ditegakkan. Aparat penegak hukum yang berwenang, mulai dari KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan aparat terkait lainnya, harus tetap semangat mengemban amanah memberantas korupsi demi Indonesia yang bebas dari korupsi. 

Meski Lelah, Jangan Menyerah.


Penulis,

ACHMAD 

Peserta didik Sekolah Pengembangan Profesi Kepolisian (SPPK) 1- 2024 Pokjar 3 | No. Serdik 202409002001 |




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline