Arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Lampu-lampu yang menghiasi pekuburan serentak mati. Bukan karena sudah kedaluwarsa atau kelelahan. Bukan pula terkena giliran pemadaman oleh PLN yang tak kunjung usai. Malam ini, tanggal 17 Agustus seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak desa kami yang menghargai jasa para pahlawannya mengadakan renungan suci.
Di desa kami acara renungan suci bukanlah acara resmi kenegaraan. Acara ini dilaksanakan semata-mata untuk merenung makna kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan, termasuk yang tidak dikenal sebagai pahlawan. Melalui acara ini para pemuda desa mencoba mengevaluasi perkembangan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan.
Tiba-tiba, seperti sudah diatur sebelumnya, ratusan remaja menyalakan obor masing-masing. Embusan angin malam, aroma bunga kemboja, dan keremangan cahaya obor membuat suasana pekuburan dan sekitarnya terasa bertaburan magis.
Sejenak hati anak-anak dan cucu-cucu bangsa itu hanyut dalam alunan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki. Beberapa remaja anggota paduan suara itu sempat menitikkan air mata pada saat menyanyikan bait :
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati.
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti.
Gugur satu, tumbuh…
Aku tak sanggup lagi mendengar kelanjutan syair lagu itu. Aku malu, setelah gugur satu pejuang, masih adakah sekarang orang berjuang tanpa pamrih seperti mereka? Masih adakah orang berjuang tanpa berharap agar diakui sebagai pejuang? Agar mendapat fasilitas dan prioritas dalam mengisi kemerdekaan?
Aku teringat pada M@cver, sahabat sejatiku. Pada tanggal 5 Oktober, sebagai mantan anggota barisan sukarela Pembela Negeri (Peri), kami sama-sama dilantik menjadi anggota tentara keamanan (TK). Ketika TK berubah menjadi Tentara Republik (TR) pada tanggal 24 Januari, aku, M@cver, dan beberapa teman pejuang lainnya tidak dipakai lagi.