Lihat ke Halaman Asli

Hidup Bersama Perawat Itu Penuh Terorkah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang perempuan yang berprofesi perawat dipandang sebagai sosok yang penuh perhatian dan merupakan aset kesehatan yang baik bagi keluarga. Tak jarang teman-teman saya mengungkap bahwa ingin memiliki pasangan seorang perawat karena pertimbangan tersebut. Tapi benarkah hal ini benar adanya? Toh sekarang banyak sinetron-sinetron atau media masa lainnya yang mencirikan bahwa perawat itu sosok yang galak. Bahkan, muncul film-film horor yang justru cenderung menempatkan perawat sebagai sosok yang menakutkan, sebut saja “suster ngesot”, “suster keramas” dan suster-suster lainnya. Terlalu!

Fenomena yang berkembang di masyarakat justru perawat sosok yang tidak ramah dan sarat dengan malpraktik. Lagi – lagi perawat salah memberikan obat. Lagi-lagi perawat tidak tersenyum kepada pasien. Lagi-lagi perawat yang marah-marah kepada pasien. Jarang sekali pemberitaan mengenai kehidupan baik tentang perawat. Bagaimana perawat harus terjaga 8 jam untuk memberikan pelayanan prima kepada pasien. Bagaimana perawat harus tinggal dirumah sakit dan tidak menemani keluarga dimalam hari karena harus berjaga. Bagaimana perawat yang harus merelakan hari libur baik natal maupun paskah atau taun baru karena penyakit yang tak pernah libur.

Saya berfikir yang berbeda dari adalah cara pandang seseorang. Cara pandang perawat terhadap profesinya dan cara pandang masyarakat terhadap tuntutan pelayanan yang serba prima itu. Seperti melihat sebuah titik pada kertas. Ada yang terfokus hanya melihat noktah itu dan yang lain melihat sisi putih kertas yang lebih besar.

Bayangkan saat seorang perawat mengeluhkan betapa betis ini serasa mau meledak karena terus mondar-mandir ke ruang pasien, perawat harus tetap tenang mendengarkan pasien yang mengeluhkan penyakitnya. Tugas yang cukup berat. Tentu tak semua orang bisa tetap tersenyum di saat ia sangat lelah. Saya sangat berterimakasih kepada dosen saya. Saya tahu mengapa pelajaran yang saya dapatkan di tahun pertama saya adalah belajar tersenyum. Ternyata memang ada kalanya tersenyum itu susah.

Seorang perawat bukan hanya merawat sakit pasien. Terkadang juga harus menempatkan diri sebagai “teman curhat” pasien. Beragam masalah topik curhat ini dari masalah kesehatan yang menjadi fokus utamanya hingga masalah keluarga bahkan tak jarang masalah percintaan atau putus pacar. Kali pertama saya menjadi teman curhatan pasien sempat pula merasa bahwa oh sepertinya anda salah mengutarakan semua perasaan anda kepada saya, silakan temui konselor!

Akan tetapi , lama kelamaan sepertinya saya juga bertugas sebagai konselor. Berbekal mata kuliah konseling 2 sks saya coba untuk mendengarkan. Ternyata dari mendengarkan itulah ada banyak hal yang tidak bisa dokter dapatkan saat anamese kepada pasien. Padahal hal – hal inilah yang menjadi fokus utama permasalahan yang harus diselesaikan dan ditangani dengan segera. Seperti saat seorang pasien dengan diabetes yang kadar gulanya terus naik padahal sudah diberikan suntikan penurun kadar gula dalam darah. Dia mengatakan bahwa saat ini dia terus makan nasi goreng yang dibeli istrinya dari di luar rumah sakit karena tidak suka masakan rumah sakit dan terus merokok saat tidak ada perawat karena bosan.

Ternyata cukup susah menghilangkan kebiasaan selalu bertemu dengan orang sakit di rumah sakit. Tak jarang teman saya menganggap sikap saya sangat berlebihan. Misalnya ketika ada luka kecil. Dengan sekonyong-konyong serasa memberikan pendidikan kesehatan bahwa luka itu harus ditutup, tak boleh terkena kotoran, harus segera diberi antisepsik dan sebagainya.

Ketika saya bertemu dengan oranglain yang jelas-jelas sehat pun seperti bertemu dengan orang sakit. Tentu dengan penyakit yang beda. Ada sebagian benar-benar sakit secara fisik, sebagian lagi sakit secara psikis, dan beberapa sakit secara spiritual. Konsep kesehatan yang saya dapatkan ketika kuliah dulu adalah konsep kesehatan secara holistik. Bagaimana sehat dipandang bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikis dan spiritual. Penyakit yang seperti ini justru membutuhkan penanganan yang khusus tak seperti penyakit fisik yang bisa ditangani dengan obat dokter.

Tak jarang saya menghabiskan waktu makan malam saya dengan seorang teman yang bukan perawat. Tiap kali makan selalu saja muncul pernyataan ini “makan sama kamu tuh ribet ya, ini ga boleh, itu nggak boleh”. Cukup menggelitik pernyataan itu. Memuat sisi kebenaran juga sih. Semenjak memutuskan untuk terjun ke dunia kesehatan saya tak bisa mengelak bergaul dengan orang orang yang mengerti kesehatan termasuk soal makanan. Makanan yang enak dimulut belum tentu enak diperut. Makan sesuatu yang berlebihan akan menyebabkan tubuh kekurangan (menjadi sakit). Selalu wanti-wanti kalau makan seperti pesen mie ayam tanpa MSG, makan bakso tanpa saus, minum jus tanpa gula. Pokoknya ribet makan sama perawat!

Nah, pertanyaan ini itu tentang penyakit juga sering ditanyakan oleh teman-teman saya. Kalu sakit ini obatnya apa ya? Saya mengerti tentang obat tapi bukan berarti saya berhak memberi resep kepada mereka. Ini salah satu prinsip yang saya pegang. Bukan soal tidak mau memberi tahu tapi ini menyangkut tanggung gugat terhadap profesi yang saya jalani. Jawaban simple saya berikan kepada mereka tak banyak yang percaya padahal ini nyata. “buatlah hatimu gembira”, jangan stres! Simple bila ingin terbebas dari sakit. Bebaskan diri dari sakit hati dulu. Sebagian yang percaya bisa merasakan obat sederhana ini. Tak perlu resep dokter, tak perlu menebus obat ke apotek. Bahagialah!

Suka duka menjadi perawat. Apapun itusaya sangat menikmati 4 tahun yang saya jalani dalam pendidikan keperawatan! Caring, loving and nursing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline