Memang ibu kami sudah renta (itu sudah pasti, wong cucunya saja sudah menikah dan punya anak), 80 tahun. Dan seperti kebanyakan orang yang seusia ibu kami, gangguan kesehatan sudah sering menghampiri. Mulai dari sekedar rasa tidak nyaman badannya, kakinya pegal-pegal dan tidak sanggup diajak jalan jauh serta cepat, perut kembung, sampai tekanan darah yang meninggi agak jauh di atas yang direkomendasikan dokter.
Kami merupakan keluarga besar, delapan bersaudara ! Tujuh diantara kami hidup tidak sekota dengan ibu. Jadi cuma satu dari delapan anak ibu yang bisa mendampingi ibu dimasa tuanya. Maaf kalau disini saya hanya menceritakan ibu. Bukannya kami semua tidak menyayangi ayah sehingga tidak layak diceritakan, tetapi memang tidak ada lagi yang bisa kami ceritakan karena beliau sudah lama almarhum, sejak 1979, dan sejak saat itu pula ibu kami menjadi single parent untuk delapan anak, yang menikah baru satu.
Banyak sekali pembelajaran yang diberikan oleh ibu kepada kami, baik melalui contoh langsung maupun nasehat-nasehat. Dan itu semua bagi saya pribadi banyak manfaatnya termasuk ketika saya harus membesarkan dan mendidik anak. Juga ketika saya mesti mendampingi ibu dimasa tuanya, meski dari kejauhan. Walaupun secara jujur mesti saya akui, dulu ketika saya masih anak-anak, remaja, bahkan ketika sudah menginjak usia dewasa, kadang terasa tidak terlalu suka, bahkan sebal, ketika menerima nasehat dan nasehat lagi, bahkan sering diulang-ulang untuk hal yang sama. Hehehe...
Dulu ibu pernah menyatakan kepada saya, sangat senang menerima telepon dari anak-anaknya yang jauh. Ketika itu saya tidak memahami, baru setelah saya merasakan sendiri (sepuluh tahun ini anak saya hidup terpisah meski belum berkeluarga) saya memahami rasa itu. Karena ketika ibu dan anak saling berjauhan sama-sama tidak mengetahui kondisi dan situasi masing-masing, sehingga tidak jarang ketika salah satu pihak mengharap kehadiran pihak lain (secara fisik atau sekedar say hello melalui telepon) tetapi tak terpenuhi, maka rasa kecewa, galau, bahkan kekhawatiran muncul dihati dan dibenak pihak yang mengharap. Hal ini pula yang terjadi kali ini. Beberapa waktu yang lalu ibu sempat dirawat di rumah sakit karena keluhan sakit perutnya yang tak kunjung reda meski sudah minum obat yang diresepkan oleh dokter yang memeriksanya. Oleh adik yang mendampingi, semua anak ibu yang di luar kota dikabari, termasuk saya. Sesegera mungkin saya menjenguk ibu. Begitu kami bertemu,banyak hal yang ibu lontarkan. Dari ketidaknyamanan fisiknya, pujian dan rasa terima kasih atas kesabaran adik (yang serumah dengan ibu) sekeluarga yang telah merawatnya, sampai pada sapaan-sapaan melalui telepon dari anak yang belum/tidak sempat mengunjungi ibu, termasuk didalamnya adalah kekecewaan ibu karena belum adanya kontak dari sebagian kecil anak-anaknya. Dan itu masih terlontar lagi ketika kemarin saya telepon ibu. Mungkin bagi orang lain masalah tidak adanya telepon dari anak yang jauh hanyalah soal sepele, tak perlu jadi masalah. Tetapi bagi sosok yang sudah renta seperti ibu kami, ternyata itu menjadi hiburan yang sangat berarti. Bahkan bisa menjadi obat penguat jiwanya karena ada perasaan masih diperhitungkan keberadaannya, sehingga ketika nada dering tak kunjung berbunyi, rasa kecewa mesti ditelan sendiri. Walaupun tidak jarang panggilan telepon yang datang menyuarakan hal-hal yang memerahkan telinga, toh setidaknya itu tetap bermakna, karena menyiratkan adanya perhatian disana...
Ternyata beberapa ribu rupiah untuk membayar pulsa mampu mencegah adanya kekecewaan sebagai konsekuensi logis dari sebuah harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H