Lihat ke Halaman Asli

Ayudhia Virga

Unnecessary Human Being

This Elusive Thing Called Hope

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin. 25 Mei 2015.

(Ngobrol dengan temen yang kebetulan profesinya dokter. Settingnya terjadi habis selesai nonton film 'Mad Max : Fury Road'. Kita duduk di anak tangga depan Planet Hollywood (gatsu), sambil ngerokok sebatang dan nunggu macet reda.)

Tiba-tiba, Doi bilang gini :

A (temen gue) : “.. Gue ngga ngerti yud, kenapa orang sekarang lebih hormat sama duit, ketimbang sama gue dan profesi gue. Masak mesti tunggu resesi dan negara kolaps dulu sih, baru akhirnya sadar, kalau nanti suatu saat, duit udah ngga laku lagi, mau kemana mereka cari orang yang akan kasih diagnosa dan ngobatin penyakit mereka selain ke dokter. Mereka mau bayar gue pake apa in return? Uang yang tadinya bikin gue  mau nanganin mereka, saat itu udah ngga ada lagi kan.."

B (gue) : ".. Pertama sih, mereka belum tentu masih hidup saat post riot scene atau dystopian future yang lo pikirin itu bener terjadi. Kedua, selama masih tersedia orang lain dengan skill dan kemampuan yang sama kaya yang lo punya. Ya lo harus terima kalo lo itu emang enggak segitu 'valuable’nya. You're not fuckin special. You're a fuckin toilet paper man.. Kapan aja bisa diganti. Kalo ngga cocok sama dokter yang ini, ya ganti dokter. Kalo belum cocok juga, ya ganti rumah sakit. Kalo belum cocok juga, ya mungkin harus ganti negara tempat rumah sakitnya berada. Kalo ga cocok rs di indo, ya cari rs di singapore atau malaysia. Terus begitu aja, sampai-sampai, kalau suatu saat nanti, bakal ada alien dari planet Kepler-10c yang propose untuk jadi vendor penyedia jasa layanan kesehatan di bumi, gw rasa itu pun pasti akan ada aja ‘market’ nya.

Its all about ‘Supply and Demand’, motherfucke!

Lo, gw, kita semua itu cuma 'Resources' dari mata rantai 'Supply and Demand'. Makin banyak orang dengan skill kaya lo yang rela kerjain apa yang lo kerjain dengan harga yang lebih murah, makin ngga berarti juga skill yang lo punya. Jadi mendingan lo telen aja semua. Upgrade atau terima and get over it. Survive aja, gausah ‘baper’ (*bawa perasaan) atau ngerasa lo itu harusnya lebih ‘dihargai’ dari pada yang lain. Maybe you dont like shit about your job, maybe you didnt get enough sleep, well nobody likes their job, man, nobody got enough sleep. There's no fuckin escape. No fuckin excuse. Just suck it up and be nice.

Saat Demand-nya tinggi. Ya berarti, Supply-nya harus digenjot. Proses produksinya dikebut dan dibuat se-efisien mungkin. Trus ekonomi lesu. Akhirnya over supply, resourcesnya melimpah dimana-mana. Mass dan renewable. Udah 'umum', bisa 'diperbaharui' terus lagi. Selama pabriknya masih berdiri, dan tetap ada resources untuk di cetak jadi produk siap saji. Kampus yang buka jurusan ilmu kedokteran makin banyak, kualitasnya makin bersaing pula, kalau ijasah S1 dirasa masih kurang, ya lanjut S2, begitu seterusnya. Kalau kampus lokal kurang, ya kampus luar negeri, kalau luar negeri masih kurang juga, ya lo harus tunggu sampai nanti ada 'supply' untuk bisa ambil 'degree' di luar bumi. Tunggu sampai manusia mulai bikin kampus di bulan. Apapun man, yang bisa bikin lo lebih 'stand out' diantara lautan orang yang seragam. Everyone is a fuckin Napoleon out here.

Lo itu persis kaya ayam petelur yang diternak dan dibudidaya non alamiah. Disuntik protein dikasih suplemen supaya bisa 'meet up' timeline produksi. Okelah, dia endup kaya protein, penuh suplemen, tapi buat apa? buat bertelur sampe mampus, dan ngga bisa lihat satupun anaknya lahir. Nah itu ayam, trus kalo lo, disuntiknya pake apa? Pake ‘HOPE’ man.. H.O.P fuckin E.. Hope itu komoditas. Bahan bakar, sama seperti 'FEAR' yang running insurance business.

Apa yang bisa bikin orang mau susah payah ngeluarin biaya gede dan having hard time struggle untuk bisa kuliah kedokteran selain 'Hope'. Hopenya apa? A Better Life, man.. Lo mau jalanin hidup yang lebih baik dari saat ini, man. You want to marry a beautiful wife, afford living in your dream house, owned some fancy cars, or simply making everyone around you happy.

Susah, fokus untuk sungguh-sungguh mikirin kesehatan masyarakat, ketika lu sendiri aja lagi kesulitan struggle buat penghidupan yang lebih baik. 'Struggle' yang sama seperti yang dilakuin semua orang kebanyakan. This elusive thing called hope, this desperation fuels engine yang bikin kita semua saling tindih seperti hamster di roda putar, polisi, guru, hakim, pialang saham, petugas janitor, pegawai pemerintah atau karyawan swasta. We are all part of the same compost heap. Cheer up dikit lah. Its Capitalism, baby!

Well, intinya lo itu gampang di dapet. Umum. Biasa aja. Gampang diciptain lagi, lagi, lagi dan lagi. Lulusan siap kerja, ibarat plastik kresek, stoknya numpuk bray (*asal lo tau, plastik di struk belanja indomaret aja harganya : Rp 0). Trus kalo udah gampang di dapet gitu, gue tanya sekarang, biasanya sikap lo gimana kalau sama sesuatu yang gampang di dapet?" (backsound sayup-sayup : flaming lips - do you realize?)

A (temen gue) : Nge-gampangin..

B (gue) : Nah! Itu lo jawab pertanyaan lo sendiri. (*TULUS aja nulis lagu judulnya 'Jangan cintai aku apa adanya', lo tau kenapa, because, its too damn easy on being fuckin easy..)

A (temen gue) : Bangsat lo yud. *terus diem lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline