Lihat ke Halaman Asli

Ayudhia Virga

Unnecessary Human Being

Kita Semua Tidak Spesial

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir 2 jam, kereta yang dinanti tidak kunjung datang. Hari ini sudah cukup berat sebetulnya, di kantor seperti tidak ada satupun manusia yang mampu mengerti apa yang dirasa, jangankan merasa, berbahasa dengan bahasa yang sama pun rasanya tidak.. Ah, nanti sampai di rumah juga Denis sudah terlanjur tau bahwa rasanya akan sama saja. Dia tidak pernah benar-benar "pulang"..

Karena begitu bosan, Denis memungut segumpal kertas asing yang tergeletak di dekat kakinya. Dari puluhan objek yang berada di sekitarnya saat itu, entah mengapa Denis tiba-tiba punya pikiran bahwa dengan memungut kertas itu, bosannya dapat sedikit berkurang. Sebuah aksi acak, tidak biasa, bisa apa saja yang tidak biasa dilakukan sehari-hari. Memungut kertas, membaca apapun yang ada di dalamnya, dan siapa tau ada hal menarik yang mampu menghapus bosan yang begitu mengganggu. Atau siapa tau ada untaian kata mutiara pemberi semangat yang paling tidak mampu membuat Denis punya cukup alasan untuk menjalani hidup satu hari lagi. Perlahan dibuka gumpalan kertas tersebut.. Setengah merapal, apapun yang tertulis di dalamnya, Denis mulai membaca..

............ Oleh akibat ketidak-berpihakan, ketidak-beruntungan, ketidak-terpilihan, ketidak-sesuaian, ketidak-terjawaban doa-doa, kegagalan, keterlepasan, isolasi dan kehilangan.

Perlahan kamu mulai menyadari sebuah fakta, bahwa kamu ternyata tidak spesial. Simply tidak ada yang spesial dari diri kamu. Biasa saja. Cuma satu dari milyaran organisme yang terserak di perairan purba yang tak berbatas. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Dan biasa.

Seperti produk massal. Tissue toilet yang diganti setiap hari oleh petugas janitor. Lahir, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi, berkembang biak, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi lalu mati. Mati pun tidak pasti apakah tetap mati, ataukah kembali lagi ke bentuk awal, lahir. Begitu seterusnya. Berulang terus dan terus sampai entah kapan. Cuma serangkaian episodedari keberulangan setiap hari. Seperti sebuah roll film yang sama yang digunakan untuk merekam bermacam adegan yang berbeda setiap harinya.

Adegan pertama dihapus, lalu ditindih kembali untuk bertukar dengan adegan kedua. Adegan kedua berganti yang ketiga, dan begitu seterusnya. Sebuah keberulangan yang berbeda terus menerus, tetapi tetap pada hakikatnya adalah sebuah roll film yang sama. Dalam satu gulungan besar yang sama. Dalam satu format yang serupa. Sebuah kebeluman yang terus menerus.. Banal dan tanpa makna.. Lalu, apakah sesuatu yang selamanya "belum selesai" masih dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial?

Spesial itu cuma akal-akalan pemasar. Kamu spesial kalau beli produk ini, kalau beli produk itu, kalau pakai parfum ini, kalau pakai kosmetik itu, kamu spesial itu kalau dalam sehari minimal ada satu kali transaksi digerai starbucks, kamu spesial itu kalau kamu pakai iphone 6 bahkan sebelum produknya keluar di pasar lokal, kamu spesial itu kalau kamu member fitness center, tentu kamu lebih spesial lagi kalau pakai personal trainer, kamu spesial kalau kamu fashionable, kalau kamu tech savvy, kalau kamu club hopper, kamu spesial itu kalau kamu kelihatan aktif berkeringat dalam trend lari kekinian yang hampir separuhnya berisi aktivitas narsis dan konsumsi bermacam produk running shoes, kamu spesial itu cuma kalau kamu pakai brand ini, pakai brand itu, kalau ini, kalau itu, kalau, kalau, kalau, kalau dan kalau..

Spesial itu cuma ada dalam quotes-quotes yang dikasih latar gambar pemandangan, kamu bisa comot-comot dari pinterest atau instagram lalu pasang sebagai profile picture di sosial media milikmu. Pun spesial bersemayam dalam kolase omong kosong yang dirangkum buku-buku swa-bantu atau dalam kutipan ayat dari kitab suci dalam status blackberry teman-teman kamu yang berusaha kelihatan religius, tapi jauh sekali dari makna religius dalam perilaku sehari-hari.

Jadi, dari pada ngga ada habisnya memikirkan jawaban dari pertanyaan mengapa kamu tidak spesial? Mungkin kamu harusnya berfikir, buat apa jadi spesial? Harus banget ya jadi spesial? Harus banget ya beda dengan yang lain? Apa perlu banget jadi beda? Emang kalau ngga ada satu pun dari kita yang spesial, kenapa? Kalau kita semua ternyata sama, memangnya kenapa? Kalau kita semua berebut jadi spesial, lalu siapa yang mau berada di posisi tidak spesial? kalau semua spesial, apakah masih spesial namanya?

Sudah, sekarang terima saja, bahwa ngga ada yang spesial dari diri kamu, dan seluruh kehidupan kamu yang begitu membosankan.. hidup ngga akan pernah repot-repot berusaha untuk menjaga perasaan kamu. Apalagi susah payah menempatkan kamu di posisi yang “spesial”. Things happen because they need to happen.

Spesial itu cuma soal kamu memberi bentuk pada makna. Tentang bagaimana kamu ingin dimaknai, tentang bagaimana kamu ingin diperlakukan, tentang bagaimana (anehnya) kamu ingin menerima kembali perlakuan yang kamu inginkan justru dengan cara memberikan perlakuan itu kepada yang lain diluar diri kamu.  Tentang omong kosong soal konsep “memberi untuk menerima lebih banyak..”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline