Dalam sebuah ruang meeting besar di sebuah gedung perkantoran Grade – A yang berlokasi di kawasan bisnis Sudirman.
Tersebutlah 3 orang applicants (pelamar pekerjaan) dan seorang interviewer (pewawancara), mereka duduk berhadapan dipisahkan oleh sebuah Conference Table eksentrikwarna burgundi. Para pelamar kelihatan begitu meyakinkan, begitu bersemangat, begitu dinamis, begitu assertive, begitu-begitu saja. Mereka kelihatan sama, seperti patung-patung manekin yang diletakkan sejajar.
Interviewer (dengan suara berat dan wajah dingin meluncurkan sebuah pertanyaan ‘klise’ ) : “…… Apa yang dapat kamu bayangkan tentang dirimu, pada masa 10 tahun di depan?“
Pelamar ke 1 : Dengan yakin menjawab, (matanya memicing, tangannya terbuka, menunjukan gerak tubuh layaknya seorang visioner) “saya membayangkan diri saya di sebuah rumah mewah di pinggir pantai yang tenang, saya melihat seorang wanita pujaan yang akan saya bahagiakan hingga akhir hayat.. saya lihat anak-anak manis dan menggemaskan.. saya bisa lihat dengan jelas, diri saya tersenyum..”
Pelamar ke 2 : Sebagaimana sebagian kita dibesarkan dan diajarkan untuk menjadi pemangsa bagi manusia lainnya, pelamar ke 2 (seperti tak ingin dirinya menjadi mangsa empuk bagi dua pelamar lain yang menjadi rivalnya) menjawab pertanyaan interviewer, juga dengan tak kalah visioner. “Saya membayangkan diri saya memiliki banyak uang.. ya.. saya lihat usaha saya maju pesat.. karyawan saya ratusan orang.. puluhan cabang di kota-kota besar.. saya lihat saya hidup berkelimpahan..”
Pelamar ke 3 : Mendengar semua style (so-called visioner) sudah di pakai oleh kedua pelamar saingannya, pelamar ke 3 harus memutar otaknya extra keras untuk mencari cara memberikan diferensiasi pada nilai jual dirinya. Sebagai produsen dari brand mie istan x (bukan indomie) misalnya, USP (Unique Selling Point) macam apa yang akan kamu tawarkan pada market, yang tak dimiliki oleh indomie. (*ada yang bisikin : sungguh nikmat Indomie goreng mana lagi yang engkau dustakan dikala lapar)
*Eureekaa… tiba-tiba dia berfikir : “kedua yang lainnya, ya, kedua yang lainya ini, mereka hanya menggambarkan bagaimana diri mereka 10 tahun ke depan bagi keuntungan diri mereka sendiri, bukan untuk perusahaan ini. Ah… ya,ya,ya… biarlah saya yang akan menyantap porsi seorang heroik di mata sang interviewer”
(Sambil tetap menggunakan gestur layaknya seorang visioner, namun khusus untuknya, dia menambahkan sedikit diferensiasi, sedikit heroisme *ehem, jilat pantat)
“10 tahun ke depan, buat saya.. tentu adalah memberikan kontribusi yang berarti bagi perusahaan ini, saya lihat loyalitas dan integritas. Saya lihat pengabdian.. saya lihat diri saya dalam sebuah team, bergiat demi kemajuan perusahaan..”
Mendengar jawaban tersebut, sang interviewer tersenyum. (*dalam hati yang tersembunyi, ia bergumam : hueeekk….. untuk bualan semenjijikan macam ini.. sungguh… yang kurang darinya hanyalah ‘tepuk tangan’).
Selesai mendengar semua jawaban yang disampaikan oleh para pelamar, sang interviewer menghela nafas panjang dan sejenak terdiam, menguncir rambutnya tinggi ke belakang, lalu menyeruput secangkir kopi starbucks dari cup plastik bertuliskan : “Be Happy & Be Grateful” hasil tulisan tangan barista yang padahal tengah muak dengan hidupnya sendiri.
Interviewer : “Baiklah.. bapak-bapak sekalian.. sambil menunggu User kalian datang, ada satu hal yang ingin saya sampaikan”.
“Apakah kalian ingin mengetahui jawaban yang tepat menurut opini saya dari pertanyaan tentang, seperti apa diri kita pada masa 10 tahun di depan?” (berbicara dengan tone suara berat seraya mencondongkan kepalanya kedepan)
Para pelamar : “That would be really great, kami rasa kami akan sangat senang mendengarnya..” jawab pelamar ke 1 cepat, ditimpali setuju oleh kedua pelamar lainnya, seolah mereka sudah sama-sama menyetujui hal tersebut bahkan sebelum hal tersebut diungkapkan.. (*ah biasalah, sopan santun palsu dan basa-basi tipikal mental kebanyakan pegawai urban jaman sekarang)
***
Interviewer : “Hmm… Baiklah… Faktanya.. dalam 10 tahun ke depan, yang akan kalian jumpai, hanyalah gambaran tentang sebuah diri yang penuh dengan luka. Luka yang mampu mendewasakan, tapi mungkin juga memiliki kemampuan untuk melumpuhkan kehidupan..
Bayangkan, berapa banyak kehilangan yang akan kalian lewati, kehilangan orang-orang terkasih.. kehilangan hal-hal fundamental yang menyusun sistem nilai dan kepercayaan kalian.. kehilangan semangat dan gairah.. kehilangan mimpi dan cinta.. kehilangan harapan.. kehilangan kesempatan.. bahkan, tak jarang kehilangan diri kalian sendiri..
Selamat tinggal pada kesenangan-kesenangan usang, rumah bagi kebahagiaan-kebahagiaan sederhana, yang harus terhenti entah karena berakhir secara alami dalam proses seleksi ‘kesenangan’ atau bungkam karena dipaksa berhenti oleh akibat berbagai gesekan dalam realitas kehidupan sehari-hari dimana segala sesuatunya ditakar hanya dengan uang.
Berapa banyak kehilangan yang akan kalian alami. Berapa banyak tangis perpisahan, berapa banyak hati yang harus bersusah payah tumbuh kembali setelah hancur berkeping-keping. Berapa banyak kesedihan yang akan kamu alami untuk akhirnya sampai pada dirimu yang 10 tahun di depan itu. Ah… tragedi demi tragedi.. kesedihan demi kesedihan.. kehilangan demi kehilangan..
Akankah mereka-mereka yang penting dan terkasih tetap tinggal dan berada disampingmu ketika saat itu datang.. akankah kamu tetap tinggal?
Berani lihat? Berani bayangkan? bagaimana diri kalian yang telah hancur dikoyak kesedihan itu berwujud.. berani bayangkan? Wajah lelah penuh luka yang telah habis disayati sembilu itu berupa. Melihat dirimu mati setiap malam untuk terlahir kembali esok pagi sebagai anak haram kebahagiaan..
Hidup hanya mengajarkan 1 hal, tidak lebih. Ia mengajarkan dengan baik tentang apa itu ‘kehilangan’.
Sebuah keterpisahan primordial (awal) yang sebenarnya hanya ingin mengajarkan tentang keterpisahan lainnya.. Hingga pada suatu akhir, kita diharapkan mampu mengerti, bagaimana caranya merelakan.. Merelakan (awal) terpisah dari-Nya di Surga, dan dipersiapkan untuk bertemu kembali dengan keterpisahan lain-Nya, suatu saat nanti di penghabisan dunia fana. Ah.. percayalah, bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada dan berbahasa dalam hening setiap perpisahan. Sebuah tanda, niscaya, Dia bersama kita lewat kealphaan.
***
Dalam hangat suasana ruangan yang Ac sentralnya selalu diset diatas 36 derajat karena ada direksi kantor yang selalu komplain kedinginan, terasa ada sebuah kesunyian yang entah begitu “……………” (*tak terucapkan, tidak ketemu padanan katanya). Seperti sebuah keheningan agung, yang kerap hadir dalam ketersituasian landscape perasaan pasca ‘Orgasme’ dalam sebuah hubungan seksual yang hangat dan tak harus diburu waktu / dilakukan dengan tergesa oleh akibat adanya kegiatan lain yang tengah menunggu. (*backsound : terdengar sayup-sayup, soft - whispery - french accent, Claudine Longet dalam lagu berjudul “I think it’s going to rain today” ).
Ketiga pelamar yang sebelumnya mematung, setelah mendengar kata-kata yang diucapkan interviewer.. tiba-tiba meloncat dari kursinya masing-masing, seperti orang tersedak ‘makanan mahal yang ngga enak’, atau seperti karyawan kelas menengah yang terbelalak lihat tagihan kartu kredit setelah ‘gaya-gayaan’ nonton premier film ‘Gone Girl’ di Singapore.
Oh.. atau mungkin seperti seorang guru galak nan nyebelin yang tiba-tiba loncat dari kursinya karena tertusuk paku payung kecil yang diletakan oleh seorang murid ‘jahil’. (*jahil : semacam Robin Hood cilik yang benci terhadap kesewenangan para Baron Feodal, atau Che Guevara kecil berjiwa pembebas, yang lewat strategi perang gerilya, berjuang mati-matian untuk membalaskan kekesalan seluruh rakyat kelas terhadap guru tiran yang menindas, atau wall flower yang sebenarnya punya cita-cita tersembunyi jadi aktivis black bloc, atau mungkin juga seperti anak gendut di youtube yang ‘fight back’ saat di bully preman sekolah).
***
Pelamar ke 1 : Terserang Panik! kemudian sibuk memaksimalkan semua jari-jemari metro-seksualnya untuk mengirimkan pesan tentang kerinduan pada semua orang dalam phonebooknya. Ia, sesekali berhenti untuk mengangkat beberapa telp masuk sambil terus membuka percakapan dengan berkata : “Kapan kita ketemu, aku kangen banget sama kamu. Serius aku kangen..”. Hampir 10 menit ia kelihatan persis seperti deskripsi yang saya sebutkan diatas. Keberulangan itu kemudian diakhiri dengan : “Ma, besok, first flight in the morning, aku pulang ke Surabaya ya ma.. aku kangen mama..” sepintas ucapnya sambil membiarkan kakinya bergerak melangkah keluar dengan kondisi telinga dan fokus masih menempel pada telphone genggam.
Pelamar ke 2 : …………………. Bergegas keluar ruangan. Tak ada satupun kata keluar dari mulut yang semula murahan mengobral sompral. Pupil matanya membesar dan nafasnya memburu, wajahnya pucat seperti habis dihantam balok besar tepat di tengkuk.
Pelamar ke 3 : Yang terakhir ini, seperti ingin punya ciri ‘mindfuck’ nya sendiri, membuka paksa kemeja kerjanya, melepas dasi yang sejak tadi ia biarkan merenggut nafasnya.
Dan untuk beberapa saat membiarkan dirinya ter-ekspose tengah berpose mengenakan sebuah t-shirt warna hitam bertuliskan “Earth without Art is just Eh”.Seolah tau sedang jadi pusat perhatian, ia lantas merobek semua berkas aplikasi yang padahal 20 menit lalu masih jadi 'berhala', tempat dimana segala doa dan harapan ditipkan. Tentang masa depan yang lebih baik, tentang uang yang lebih banyak, tentang pendamping wanita yang lebih cantik, tentang akhir yang bahagia. Dan diantara serpihan kertas yang bertebaran secara slow motion di hadapannya, ia, tak ingin kehilangan momentum, segera beranjak pergi seraya berkata, “My precious self are never belong to any corporate pigs like you, permisi ..”
***
Melihat semua kejanggalan yang meskipun terkesan dilebih-lebihkan tapi merupakan sebuah realitas asli. Sang interviewer tersenyum kecil, lalu bergumam sendiri sembari membubuhi sebuah tanda silang besar warna merah pada masing-masing foto ketiga para pelamar. Srett… (bergumam kecil : mundur).. sreett.. (mundur juga..) srett….. (dan.. si seniman yang dipaksa jadi penjilat ini pun mundur juga..)
(Tak sampai berapa lama, seorang wanita, masuk kedalam ruangan)
User : “Lho dit? kandidat yang tadi mau aku interview, mana dit?”
Interviewer : “Duh, maaf bu, ini baru aku mau telp ke ruangan ibu. Entah kenapa mereka semua tiba-tiba mundur bu …
User : Lha kok bisa Dita?
Interviewer : Mengangkat kedua bahunya sambil berkata, “saya sendiri sampai bingung ..”(dan lantas kembali tersenyum dalam ketersembunyian dirinya yang penuh misteri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H