Lihat ke Halaman Asli

Padamu, Kutitip Ibu [kota] Ku

Diperbarui: 23 Desember 2017   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ibu (kota)-ku gampang terbujuk rayu.

Jatuh ia ke tangan lelaki beragama.

Berlebel "pribumi" pula katanya.

Memang tetap beribu aku, namun bagai berayah tiri adanya.

Manis-manis ia beretorika, disediakan modal usaha hingga dicarikan pembelinya, pada akhirnya bancakan juga dia dari uang kita.

Keberpihakan kata kuncinya. Namun pada siapa ia berpihak? Pada tikus dan kecoa senilai 266 juta rupiah? Pada kolam pancur yang memancurkan kehidupan 620 juta? Pada perusahaan susu boss-nya? Pada preman Tanah Abang yang berkuasa?

Transparan katanya. Ruang media dibatasi geraknya. Bahkan jendela balai kota yang jelas hak kita, ditutup tirai agar tak ada yang mengintip ke dalamnya. Rapat-rapat yang dulunya terbuka jadi hilang di dunia maya? Atau... transparan adalah tidak hendak menjelaskan rincian anggaran belanja?

Ibu (kota)-ku hanya ajang uji coba. Pada mereka yang buta hati dan miskin prestasi birokrasi. Dulu, katanya solusi harus dari gubernurnya. Kini solusi ada di kantor kelurahan, wali kota hingga SKPDnya bahkan pada preman pasar Tanah Abang rupanya. "Gubernurnya banyak urusan, jadi mohon jangan bebani lagi."

Tentang banjir bagaimana? Katanya laporannya masih saja masalah, masalah, masalah, dan masalah. Solusi? Nanti -- nanti -- nanti -- dan NANTI.

Sekarang bagusnya kita cari-cari saja siapa kambing hitamnya.

Karena ayah tiri rupanya, segala sesuatu jadi salah kita. Macet jalanan karena pejalan kaki. Karena kita juga. Anggaran bengkak juga salah ayah yang lama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline