Pasangan hidup merupakan seseorang yang kita pilih menjadi teman hidup, dan menjadi orang tua dari anak-anak nantinya (Fadhilla, N., 2019). Namun ketika salah satu pasangan meninggal atau bercerai, maka pasangan lainnya akan menjadi single parent, single parent adalah individu yang mengalami kehilangan pasangan karena perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan (Primayuni, S., 2019). Pada pembahasan ini, penulis lebih berfokus kepada single mother. Pengertian single mother adalah ibu yang harus menjalani peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah untuk anak-anaknya dan mengurus rumah tangga secara tunggal karena perceraian atau kematian dari pasangannya (Sari, dkk., 2019). Kematian pasangan hidup ini pastinya akan membawa dampak kepada pasangan yang ditinggalkan karena peristiwa kematian ini pasti terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Kematian pasangan ini akan memberikan tekanan kepada pasangan, kesedihan, emosional, dan memberikan permasalahan kepada pasangan yang ditinggalkan (Sari, dkk., 2019). karena dampak yang diberikan dari ditinggalkan oleh pasangan ini menimbulkan rasa duka, maka individu perlu untuk beresiliensi, resiliensi merupakan kemampuan diri individu untuk bertahan dan bangkit dari keterpurukan untuk melanjutkan tujuan hidupnya menjadi lebih baik lagi (Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hurlock (1999; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) menyatakan bahwa kehilangan pasangan bisa menghasilkan kesulitan dalam penyesuaian diri bagi pasangan pria dan wanita yang ditinggalkan oleh pasangannya. Tetapi hasil penelitian lebih menunjukkan perhatian khusus pada wanita yang ditinggalkan pasangan yang menimbulkan perasaan kesepian yang mendalam. Penelitian lainnya yang dilakukan sari & Wardhana (2013; dalam Widyataqwa, 2021) yang menunjukkan bahwa saat wanita ditinggalkan pasangan akan mengalami penurutanan kondisi fisik, stigma negatif dari masyarakat terhadap seorang janda dan finansial. Meskipun wanita sering dianggap kaum yang lemah dan mengutamakan perasaan, walaupun begitu wanita single parent tetap dapat bangkit dari keterpurukan setelah kematian pasangannya.
Single parent atau single mother merupakan wanita yang mengatur segala urusan rumah tangga dengan sendiri, seperti mengatur rumah, menjadi tulang punggung untuk anaknya, menjalani peran ganda sebagai orang tua (Primayuni, S., 2019). Secara umum single parent merupakan orang tua tunggal yang mengasuh dan membesarkan anaknya dengan sendiri tanpa bantuan dari pasangan lainnya dan memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur keluarganya(Layliyah, 2013; dalam Widyataqwa, 2021). Menurut Hurlock (1980; dalam Primayuni, S., 2019) single parent adalah individu yang kehilangan pasangannya baik karena perceraian ataupun ditinggal mati. Menurut pendapat dari Newman, dkk (Veronika, 2007; dalam Primayuni, S., 2019) Single parent adalah struktur keluarga yang hanya memiliki satu orangtua saja yang disebabkan oleh kematian, perceraian, perkawinan tidak jelas dan pengadopsian. Akan lebih sulit jika perempuan tersebut terbiasa manja dan bergantung dengan orang lain. Sejalan dengan pendapat diatas, definisi dari single mother adalah ibu tunggal yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga karena bercerai atau ditinggal mati oleh pasangan sehingga harus menjalankan peran ganda sebagai ibu dan ayah bagi anak-anaknya (Sari, dkk., 2019). Menjadi single mother menjadikan pendapatan keluarga berkurang, memiliki resiko kemiskinan, kesehatan mental ibu yang memburuk, pengasuhan anak menjadi tidak maksimal hingga buruk (Hill, Yeung, & Duncan, 2001; McLanahan, 2009; Harkness, Gregg, & Fernandez, 2020)
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa single parent atau single mother adalah wanita yang berpisah dengan pasangannya karena bercerai atau kematian pasangan, sehingga harus mengurus urusan rumah tangga tanpa suami, mendidik anak dengan sendiri dan menjadi tulang punggung untuk anak-anaknya. Wanita menjadi single mother disebabkan oleh perceraian dan kematian pasangannya. Kematian pasangan merupakan peristiwa yang tak terduga dan dapat menjadi tekanan emosional yang berat bagi pasangannya (Sari, dkk., 2019). Menurut Marris (Bonanno, 2004; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) perasaan yang muncul saat ditinggal mati oleh pasangan adalah perasaan ketidakpercayaan, keputusasaan, marah, perasaan bersalah, tidak tenang dan perasaan kehilangan ketika kematian pasangan secara tiba-tiba. Kehilangan pasangan akan menjadi tantangan emosional tersendiri bagi setiap individu terutama wanita (Loren, dkk., 2023). Peristiwa kehilangan tersebut merupakan keadaan yang akan menghadapi proses berduka yang merupakan hal yang wajar dan lumrah dialami oleh orang yang mengalami kehilangan (Suseno, 2009; dalam Widyataqwa, 2021). Menurut Sin (2022; dalam Winardi & Subianto, 2023) terdapat beberapa tahapan dalam berduka:
Denial
Perasaan ini merupakan cara penanganan otak untuk menghadapi kehilangan yang hebat. Hal inilah yang menjadi sistem pertahanan dari otak atas respon dari perasaan kaget dan heran atas peristiwa kehilangan yang terjadi.
Anger
Tahapan selanjutnya adalah perasaan marah bahwa kita kehilangan dari orang yang kita sayangi. Tahapan ini harus dilalui oleh setiap orang yang sedang berduka, didalam kemarahan itu terdapat rasa sakit atas rasa kehilangan tersebut. Orang yang berada pada fase ini bisa merasakan marah pada diri sendiri, orang lain dan bahkan kepada tuhan.
Bargaining
Selama tahapan ini, individu akan berkutat dengan pikirannya saja, mereka akan berandai dan berpikir dapat menangani masalah tersebut, mereka akan berfikir "andai saja..." atau "bagaimana jika...". serta memiliki perasaan bersalah.
Depression
Selama tahapan ini, individu akan dihantui oleh perasaan hampa, bersalah, dan lebih muram, individu yang depresi juga merasa aktivitas yang dilakukannya tidak ada gunanya.