Bab 2
...
"Banyak yang bilang kalau kebahagiaan itu ada setelah kita berhasil mencapai fase-fase tertentu," Darso berbicara sambil matanya tertuju pada hamparan sawah di depannya. Dalam kegelapan dia menyalakan rokok, api koreknya bergoyang-goyang diterpa angin.
"Benar apa kataku kan, mas?"
"Kebahagiaan semacam apa yang kau maksud?"
"Entahlah, aku juga tak tahu, pokoknya yang menurut pehamaman kebanyakan orang," belum lagi kutimpali pernyataannya, dia melanjutkan, "Ada yang mengatakan, bila belum bekerja, bekerjalah sampai mapan hingga kau merasa bahagia, bila belum menikah, maka menikahlah agar lebih bahagia, jika sudah menikah dan belum bahagia, milikilah seorang anak agar merasakan apa itu bahagia, serta tujuan-tujuan duniawi lainnya yang menurut orang-orang mampu menciptakan kebahagiaan bila kita telah mencapainya."
Aku tertegun mendengar ucapan lelaki di depanku. Dihisap rokoknya berkali-kali dengan jeda yang cukup singkat.
"Tapi apalah arti semua pencapaian tersebut jika kita tak menemukan kebahagiaan sama sekali setelah memperolehnya."
"Semua itu tergantung, Darso."
"Tergantung apanya, mas?"
"Diri kita sendiri," kali ini dia menatapku penuh tanda tanya, "Semua capaian yang telah kau sebutkan, takkan ada artinya sama sekali jika kita tak bisa menerimanya sepenuh hati. Sekecil apapun pencapaian itu sendiri," kukatakan sambil menatapnya dalam-dalam.
"Kebanyakan kita terlanjur terbiasa dengan kebahagiaan yang bersyarat, semacam syarat-syarat yang kau sebutkan tadi."
"Iya juga ya, mas. Celakanya lagi, kebahagiaan belum tentu tercapai bila syarat tersebut sudah dipenuhi, seperti kata mas tadi."
Dalam gelap kulihat dia tersenyum walau tak bisa disembunyikannya rasa sakit di pinggang sebelah kirinya.