Akhir tahun telah tiba, berarti akhir semester ganjil bagi dunia pendidikan Indonesia juga telah datang, dan berarti kontroversi seputar liburan guru akan kembali hadir menyeruak ruang publik kita.
"Enak ya jadi guru, bisa libur panjang bareng anak-anak"
Kalimat legendaris yang nyaris setiap enam bulan sekali bergema di udara kita, seperti angin muson yang setiap bulan April dan Oktober berganti arah dan posisi start/finishnya. Secara sekilas di dalam kalimat itu tersirat ada nada cemburu, iri, simpati, nyinyir, ikut senang, dan gembira, berbaur jadi satu dengan penekanan makna tergantung bagaimana pengucapannya. Pertanyaan saya untuk itu adalah, "Sampai kapan kalimat seperti itu bisa mengendap di dasar pemikiran dan kemudian tertimbun atau hilang dari arus persilangan pendapat di tengah masyarakat?"
Mari kita kulik bersama, setidaknya dengan begitu kita bisa belajar memahami masalah (dan mencari solusi) dengan cara yang sedikit lebih ilmiah dari pada sekedar julid dan kepo.
Definisi Libur
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online menyebutkan bahwa libur adalah jenis kata kerja yang bermakna "bebas dari bekerja atau masuk sekolah" (https://kbbi.web.id/libur)
Kebetulan definisi atau makna leksikalnya sangat sesuai dengan apa yang sedang kita bahas, yaitu "bebas dari bekerja," ini sangat sesuai dengan status guru, dan "bebas dari sekolah", sangat sesuai dengan siswa.
Sedangkan menurut peraturan yang berlaku, definisi libur merujuk pada peraturan cuti dan libur PNS, narasumber di situs hukumonlinedotkom menggunakan dasar hukum yang berlaku bagi para guru yang berstatus PNS atau ASN. Libur disamakan dengan cuti, tidak ada batasan libur bagi guru, yang ada hanya libur dan cuti bagi PNS, apapun status jabatan fungsionalnya. Ini karena di dalam peraturan tersebut tidak membedakan status jabatan fungsional. Dasar hukumnya sebagaimana tercantum pada screen shot yang saya sertakan berikut ini.