Sebenarnya ini tulisan lama, tetapi sepertinya belum sempat terekspos saat menyisir catatan-catatan yang terserak di beberapa memory portabel, gadget dan laptop. Judul pertama saat menulisnya adalah Sabda Pandhita Ratu, tetapi isinya sangat relevan dengan hikmah Ramadhan.
Sabda Pandhita Ratu
Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali, kurang lebih bermakna bahwa ucapan seorang raja tidak boleh berubah-ubah.
Unen-unen atau bunyi bahasa tersebut dulu sering aku baca dan kadang aku dengar dalam pergaulan sehari-hari sebagai gambaran bagaimana ucapan seseorang bisa dipegang. Meskipun yang bicara hanya orang biasa, jangankan seorang raja, ketua atau pengurus RT pun bukan, namun peribahasa itu seringkali digunakan untuk mengomentari apa yang orang tersebut katakan, atau untuk mengingatkan jika pendapatnya berbeda dengan pendapat sebelumnya.
Kesamaan antara unen-unen pada pembuka tulisan ini dengan unen-unen lain yang aku ubah menjadi judul tulisan ada pada sumber keluarnya bunyi, atau ucapan seseorang yaitu mulut, dan lebih spesifik lagi adalah pada Lidah. Bagian dari tubuh manusia yang bisa menentukan nasib seseorang, baik nasib diri pribadi maupun orang lain.
Terkait dengan judul di atas, pengalaman kemarin (14/06/18) hari terakhir puasa Romadhan atau H-1 dan hari ini (15/06/18) saat hari H Lebaran 1 Syawal 149 H, menjadi salah satu contoh bagiku pribadi dan juga pembaca sekalian tentang akibat dari sesuatu yang diucapkan secara nyata, sesuatu yang diucapkan dan sampai bisa didengar oleh orang lain. Beda halnya jika masih tersimpan dalam hati.
Pagi itu dengan semangat menyambut datangnya hari kemenangan, beserta istri dan anak-anak kami melaksanakan aksi bebersih rumah dan pekarangan. Meskipun aksi lebih didominasi oleh koordinator lapangan, hal itu tidak mengurangi semangat untuk mewujudkan perubahan di negeri kecil kami, setidaknya ada perubahan suasana sebagaimana yang diinginkan oleh "wakil presiden" kami yang saat eksekusi bertindak laksana pimpro merangkap mandor sekaligus oposisi. Ya, benar, oposisi yang kerjanya mengkritisi segala hal yang sedang, sudah, dan bahkan yang belum dilakukan oleh pelaksana proyek. #hihihi.. untung "beliau" bukan kompasianer..
Proyek pertama dilaksanakan pada H-3, adalah mengubah warna cat dinding, niatnya hanya sekedar meneruskan kamar si sulung yang sudah lebih dari setahun belum selesai dicat, sehingga yang dibeli hanya kaleng ukuran kecil (1kg). Alhamdulillah, Sulung dan istri mengecat kamar, sedangkan aku dan si tengah mengecat dinding depan (si bungsu ikut kakungnya di ndalem Klimbungan) terselesaikan kurang dari 2 jam. Di sela istirahat tercetus ide baru demi melihat sisa cat masih lumayan banyak setelah pengecatannya menggunakan pola, bukan diblok rata satu warna. Maka berlanjutlah proses eksekusi proyek #2, Dinding Ruang Tamu.
Di H-1 proyek #2 sudah selesai, sambil menunggu air menyala, sejak kemarin pagi dan beberapa hari sebelumnya air menyala eh..mengalir tak teratur, iseng-iseng kucabuti rumput di belakang rumah dan berkembang menjadi menata sisa batu bata sebagai pengeras tanah belakang rumah. Tiba-tiba tanpa ada gejala dan pertanda apapun sebelumnya, dalam keadaan jongkok, terasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada, perut melilit dan rasa lemas menjalari seluruh tubuh diiringi rasa dingin yang tak biasa seperti menusuk dalam relung hati.
Astaghfirullah... gejalanya seperti ketika dulu terkena gejala typhus, minus mulut/lidah terasa pahit. I'am Dropped by the lizard.
Segera kuambil jaket, penutup kepala dan celana panjang, duduk terpekur menelusuri sebab musababnya, dan sekali lagi kuucapkan istighfar berulang-ulang, semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan dosaku. Atas segala ucapan dan perilaku yang kulakukan tanpa baik kusadari maupun tidak.