Lihat ke Halaman Asli

Maarif SN

Setia Mendidik Generasi Bangsa

Astaga, Akulah Teroris Itu

Diperbarui: 26 Januari 2016   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika anda sudah membaca artikel yang ini http://www.kompasiana.com/maarif_setyo_nugroho/setrap_56a53c11367b61060c4f2776 mungkin anda sudah "melihat" dengan jelas bagaimana tingkah mereka yang kocar-kacir waktu itu. Ada yang lari bersembunyi secepat kilat, ada yang langsung jongkok dan sibuk pura-pura bekerja atau memang benar-benar bekerja, ada yang bingung mau kemana dan mau bagaimana karena terlanjur kepergok. Mereka yang sejak awal sudah bekerja dengan benarpun terlihat was-was sehingga tampak lebih serius dalam bekerja, terlihat dari mimik muka dan sorot matanya. Mungkin kalau mereka saat itu sempat update status di medsos maka trending topic di grup mereka adalah taggar #kamitakut. Karena mereka semua tanpa kecuali, kena setrap. 

Semua itu terungkap ketika terjadi dialog beberapa hari sesudahnya, di sela-sela menjelaskan materi di dalam kelas, sebagai ice breaking yang kebetulan macthing dengan materi, kusampaikan latar belakang mengapa sampai terjadi peristiwa yang tergolong luar biasa waktu itu. Bahwa itu salah satu bentuk terapi penyadaran bagi mereka setelah sekian lama terlena dengan kebiasaan-kebiasaan yang serba permisif, tidak konsisten, dan tidak bertanggungjawab. Segala tindakan sepele individu-individu yang negatif tetapi lepas dari perhatian (karena dianggap sepele) sehingga kemudian terakumulasi menjadi kebiasaan komunal kontraproduktif.

Tetapi tentu saja ketika menyampaikannya kugunakan bahasa sesuai tingkat pemahaman mereka, tidak persis seperti di artikel ini...hehe

Mereka yang sudah paham bagaimana perangai dan kebiasaanku si lonely ranger di Sabtu kelabu itu ternyata mengakui bahwa #kamitidaktakut, tetapi jawaban agak mengejutkanku bahwa #kamitakut justru datangnya dari para anggota "gerombolan si berat" (anda yang belum sempat tahu siapa "si berat", silahkan tanyakan, di kolom komentar juga boleh). Itu setelah secara retoris kutanyakan begini :

"Kenapa sih takut pada saya ? justru saya sedih dan prihatin kalau kalian takut, nyatanya teman kalian biasa saja, malah ketawa-ketiwi waktu itu, nggak pernah merasa takut dan juga tak terlihat kalau sedang takut walaupun saya bentak dan saya acungkan tongkat bambu ?"

"Galaaak... " jawab beberapa anggota si berat di sudut belakang sebelah kiri kelas. Jawaban yang justru menggembirakanku waktu itu. Pertama, dari raut wajah dan ekpresi mereka yang begitu riang dan gembira penuh canda tawa suka-suka tanpa menari dan berdansa senantiasa ala India selamanya (gaya khas artikel siapakah ini ? :) ) ketika menjawab pertanyaan retorisku. Yang kedua, dari isi jawaban yang jujur dan lugas, lepas tanpa beban maupun tekanan. Bahkan menjawabnya sampai tiga kali, karena akupun memastikannya sampai tiga kali. 

Dari situ aku bisa membuka ruang dialog dengan mereka, dua arah, sebagai langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih intens, untuk mengurai sebab munculnya permasalahan mengapa mereka memilih menjadi anggota gerombolan si berat. Entah inspirasi dari mana yang datang waktu itu, hanya secara spontan saja terpikirkan olehku, aku hanya ingat pernah membaca artikel tentang upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan anak yang memiliki bakat trouble maker di sekolah, tapi tak pernah ingat siapa penulis atau pencetus pola pendekatannya. Yang jelas masih kuingat adalah bahwa dengan dialog dua arah secara personal lebih efektif untuk menggali akar permasalahan penyakit asosial, dibanding cara represif melalui sanksi dan hukuman berulangkali. 

Begitulah, pelajaran yang dapat mereka ambil dari peristiwa Sabtu kelabu itu, secara nyata telah tersampaikan dengan lebih lengkap dan gamblang, tampak sekali mereka memahami apa yang kusampaikan, setidaknya dari anggukan kecil dan sorot mata serta katupan bibir maupun "ngowosnya" beberapa di antara mereka, membuat akupun bersyukur dalam hati karenanya. Dan yang lebih penting, akupun bisa mendapat pelajaran berharga dari dialog singkat dengan mereka. Bisa kusampaikan nilai-nilai yang seharusnya mereka pahami secara langsung, tak perlu melalui ungkapan panjang lebar berbusa-busa di dalam ruangan. 

Kesadaran lain yang menghampiriku adalah terpaparnya fakta otentik bahwa cara-cara kekerasan dan represif yang selama ini sering dilakukan, baik secara normatif melalui hukuman sesuai peraturan maupun cara "ekstra normatif" untuk menyembuhkan penyakit yang mewabah di sekolah ini belum cukup efektif. Harus ada pendekatan lain yang sifatnya lebih manusiawi dibanding pendekatan ala teroris. 

Ya, selama ini jika mereka melihat sekelebat saja sosok ini, maka spontanitas alam bawah sadar mereka menggerakkan segenap potensi daya gerak tubuh yang mereka punya untuk segera menjauh mencari aman. Tak jauh bedanya ketika beberapa anggota ISIS melancarkan serbuan ke Paris, tak ada warga yang berani mendekat jika ingin selamat, pun tak ada polisi dan tentara yang berani mengusik secara individual dan terbuka. Dan saat itulah mereka, para teroris berjaya, namun hanya sesaat, sejurus kemudian kiamat. 

Astaghfirullah... semoga saja sejak sekarang tak lagi diri ini menjadi terror bagi mereka, cukuplah menjadi momok hingga beberapa tahun terlewat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline