Bagi mahasiswa tingkat akhir, penulisan skripsi menjadi tugas yang harus dihadapi untuk menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan mencapai gelar sarjana. Skripsi dianggap sebagai tantangan yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa calon sarjana dan proses penyusunannya seringkali menjadi hambatan bagi mahasiswa yang ingin lulus cepat. Sebelum itu, mari kita pahami apa itu sebenarnya skripsi. Istilah skripsi di Indonesia digunakan untuk mengilustrasikan suatu karya tulis ilmiah berupa paparan tulisan hasil penelitian sarjana S1 yang membahas suatu permasalahan/fenomena dalam bidang ilmu tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
Penulisan skripsi bukan hanya sekadar untuk mencapai gelar sarjana semata, melainkan juga sebagai platform untuk mengembangkan kemampuan akademik dan profesional mahasiswa. Proses penyusunan skripsi melibatkan berbagai keterampilan, seperti pengumpulan data, penelitian data, mengolah data, serta komunikasi atau interpretasi. Dengan menyusun skripsi, diharapkan mahasiswa dapat berpikir secara logis dalam menjelaskan dan menyelesaikan suatu permasalahan, serta mampu menuliskan hasil pemikiran mereka ke dalam bentuk laporan yang terstruktur dan sistematis.
Baru baru ini, Indonesia mengalami perubahan dalam standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, mengeluarkan kebijakan berupa penghapusan kewajiban penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 dan D4, serta membebaskan lulusan magister (S2) dan doktor (S3) dari kewajiban menerbitkan makalah ilmiah di jurnal terakreditasi atau jurnal internasional. Perubahan ini diatur melalui Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, yang telah diresmikan sejak 16 Agustus 2023 dan telah dicatat dalam perundangan pada 18 Agustus 2023.
Jadi, apakah skripsi benar-benar dihapus? Menurut pernyataan Nadiem Makarim, skripsi tidak lagi menjadi kewajiban sebagai syarat kelulusan kuliah, melainkan perguruan tinggi diberikan keleluasan untuk menetapkan sendiri standar kelulusan para mahasiswanya. Kebijakan penghapusan kewajiban skripsi diumumkan sebagai bagian dari upaya reformasi dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kini, mahasiswa S1 tidak lagi diwajibkan menyusun skripsi. Mereka dapat memilih alternatif seperti portofolio kreatif, proyek kolaboratif atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis, baik yang dikerjakan secara individu maupun berkelompok. Sementara itu, mahasiswa S2 dan S3 tetap diwajibkan menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk tesis/disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis, tetapi tidak lagi wajib menerbitkan makalah ilmiah di jurnal terakreditasi atau jurnal internasional. Namun, keputusan itu sepenuhnya bergantung pada kebijakan masing masing perguruan tinggi.
Persyaratan skripsi menjadi beban yang berat dan terkadang membatasi eksplorasi ilmu dan minat akademik mahasiswa. Puan, melalui keterangan tertulis kepada Parlementaria di Jakarta pada Rabu (6/9/2023), mengungkapkan diperlukan suatu terobosan yang bisa menyalurkan bakat dan minat, sehingga mudah diserap di dalam dunia pekerjaan (DPR RI, 2023). Menurut ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani, penghapusan skripsi sebagai persyaratan kelulusan bagi mahasiswa tingkat Strata 1 (S1) dianggap sebagai bentuk kemerdekaan dalam belajar, sehingga mahasiswa bebas menentukan arah kelulusan mereka tanpa harus terikat dengan sistem yang ada. Nadiem Makarim menyampaikan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada mahasiswa dalam menentukan bentuk tugas akhir yang sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.
Optimasi Kualitas Lulusan
Salah satu alasan yang mendasari penghapusan kewajiban skripsi adalah untuk meningkatkan kualitas lulusan. Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Spog., Phd, menyatakan bahwa salah satu hal negatif yang rentan terjadi pada proses skripsi saat ini, adalah praktik perjokian. Hal ini karena skripsi dianggap sebagai kewajiban dan sebuah keharusan. Dengan adanya pelonggaran tidak mewajibkan skripsi, maka usaha membuatkan skripsi dan joki ini menjadi berkurang dan akhirnya tidak ada sama sekali (Berita Jatim, 2022). Sistem pendidikan di Indonesia hanya berfokus pada nilai akhir sebagai tolak ukur keberhasilan akademis. Ditambah lagi, tidak adanya peraturan tegas untuk menghukum para joki skripsi di negara ini. Hal ini dapat menjadi masalah ketika mahasiswa lebih fokus pada pemenuhan formalitas daripada pengembangan substansi penelitian tanpa menggunakan ilmu yang mereka peroleh selama berkuliah. Dampaknya adalah potensi menghasilkan lulusan yang kurang berkualitas.
Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi dengan Dunia Nyata
Skripsi kini dinilai kurang relevan dalam mempersiapkan lulusan untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Salah satu tujuan utama pendidikan adalah untuk memberi bekal mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam dunia kerja. Sedangkan untuk mencari sebuah pekerjaan tidak melihat hasil skripsi melainkan sebuah skill (Ghani et al., 2023). Terkadang, penelitian yang dilakukan dalam skripsi bersifat lebih teoritis dan akademis daripada praktis dan aplikatif. Hal ini mengakibatkan lulusan perguruan tinggi sering mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan pengetahuan hasil dari penelitian mereka dalam pekerjaan nyata. Ini menciptakan kesenjangan antara kualifikasi akademis dan tuntutan dunia kerja, yang dapat menghambat proses pencarian pekerjaan dan perkembangan karir mahasiswa.
Mengurangi Biaya Pendidikan