Baru-baru ini, viral video bocah sedang memanjat tiang bendera demi memperbaiki pengait tali bendera agar Sang Saka Merah Putih tetap berkibar. Aksi itu terjadi saat upacara bendera 17 Agustus 2018 berlangsung di Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur, sebagaimana banyak media mewartakannya.
Aksi anak bernama Yohanis Gama Marschal Lau (13) itu mengundang simpati publik. Kemenpora RI misalnya, menyebut tindakan Yohanis sebagai aksi heroik. "... Dia tidak takut pada siapa pun, pada apa pun, dia hanya ingin menyelamatkan Merah Putih saja," kata Kemenpora, Imam Nahrowi (Kompas.com, 17/8/2018)
Tak terbayangkan saat saya melihat videonya, bagaimana jadinya jika ia terjatuh dari atas tiang setinggi kira-kira 15 meter itu? Bersyukur, Yohanis selamat dan melakukan aksi pada moment yang tepat. Bahkan, ia akan mendapatkan berbagai penghargaan. Bagaimana kita memaknainya?
Cara Sederhana Mengekspresikan Kemedekaan
Kita dapat melakukan banyak cara sederhana untuk mengekspresikan kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia, misalnya dengan syukuran, memasang bendera dan lain sebagainya.
Bahkan, dengan siulan ala Bung Karno di Kota Ende kala itu, mampu membangkitkan spirit nasionalisme anak-anak.
Terkait cara mengekspresikan kemerdekaan, Kompasiana mengundang pendapat publik, pilih "Memasang Bendera di Rumah" atau "Mengunggah Foto-Foto Bernuansa 17-an di Media Sosial? Inilah pendapatku.
Secara pribadi, saya lebih suka memasang bendera di rumah. Mengapa?
Pertama, ihwal merawat rasa kebangsaan. Hemat saya, memasang bendera di rumah bukan sekedar tentang pilihan antara cara kuno atau cara zaman now dalam mengeskpresikan rasa nasionalisme. Ini soal "rasa" kebangsaannya. Seolah ada "nyut-nyut" nya gitu, suer :)
Bagi saya, itulah cara sederhana yang lebih "original" dalam merawat identitas bangsa dan membangun karakter (character building). Beda banget dengan cuma nyebar-nyebar foto di medsos, seperti masakan tanpa garam. Rasanya "hambar".
Karena itulah, bendera merah putih yang saya pasang di depan rumah adalah bendera yang masih "layak", bukan bendera yang sudah "lusuh" atau "lecek", apalagi sudah "kiwir-kiwir" alias robek.