Indonesia dikenal sebagai negara multi etnik, religi, ras dan budaya. Kita patut bersyukur, karena meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua, seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu bukan berisi politik pencitraan, namun telah dipraktekkan sejak lama. Menurut sejarahnya, kalimat itu berasal dari Kakawin Jawa Kuna (Kakawin Sutasoma) karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin itu begitu istimewa, karena mengajarkan toleransi antar umat Hindu Siwa dengan umat Buddha pada masanya. Toleransi itu terekspresi dalam bait “Bhinnêka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang berarti “Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, “Tri Kerukunan Agama” di negeri ini berjalan mengesankan. Sekedar contoh, terdapat Masjid yang dibangun berdekatan dengan Gereja atau Pura. Pemandangan ini biasanya berada di sekitar alun-alun dekat kantor pusat pemerintahan. Di Malang misalnya, umat Muslim ikut shalat Idul Fitri di halaman gereja. Pasalnya, jamaah yang shalat Idul Fitri di masjid Agung Jami Kota Malang mencapai ribuan orang. Mereka yang tak kebagian tempat, membentangkan sajadah di halaman Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus. Contoh lain adalah desain arsitektur Masjid Istiqlal Jakarta yang dibuat oleh seorang arsitek Nasrani, bernama Friedrich Silaban.
Satu hal menarik, adalah fenomena masyarakat Ambon. Menurut sejarah, kelompok-kelompok masyarakat di Ambon ketika itu bahu membahu melawan penjajah dengan mendiami sekitar benteng yang dibangun Portugis pada tahun 1575 di Pantai Honipopu yang disebut benteng Kota Laha atau Ferangi. Dalam perkembangannya, mereka menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur dan kota Ambon diberi hak yang sama dengan kolonial pada tahun 1921.
Kota Ambon tumbuh menjadi Ambon Manise, yang berarti kota Ambon yang cantik. Masyarakat Ambon Manise dikenal hidup rukun dalam kurun waktu yang lama, hingga Ambon diguncang kerusuhan sosial bermotifkan SARA antara tahun 1996-2002. Belakangan ini, Ambon Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang lebih maju dan dilirik sebagai kota internasional di Indonesia Timur. Hal ini mengindikasikan, pada dasarnya masyarakat Ambon telah mempraktekkan hidup harmonis dalam kebhinnekaan dan toleransi yang tinggi sejak lama.
Fenomena itu menunjukkan bahwa Indonesia berazaskan Pancasila dikenal sebagai negara dengan kerukunan agama yang sangat tinggi. Masyarakat internasional mengapresiasinya. Alasannya, Indonesia memiliki pengalaman yang cukup dalam masalah toleransi beragama, segingga layak dijadikan model. Maka tak heran, jika Eropa mengagumi kerukunan umat beragama di Indonesia. Paling tidak, Indonesia adalah laboratorium kerukunan umat beragama. Hal itu seperti yang Franco Frattini apresiasikan untuk Indonesia. Menteri luar negeri Italia itu menyampaikannya pada pembukaan seminar bertema Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in Which to Live Togetherpada tahun 2009 lalu (publikasi.kominfo.go.id).
Data hasil Survey Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2015 melaporkan, bahwa rata-rata nasional kerukunan umat beragama berada pada poin 75,36 dalam rentang 0-100. Artinya Indonesia berada pada ketegori kerukunan tinggi untuk aspek toleransi, kesetaraan dan kerjasama yang dijadikan indikatornya. Hal ini menggambarkan keharmonisan sebagian besar wilayah di Indonesia sangat baik. Namun hasil survey Kemenag itu masih menyisakan sejumlah catatan, misalnya terkait beberapa kasus konflik pendirian rumah ibadah di beberapa tempat (Kompas.com, 10/01/2016).
Seperti diidentifikasi oleh sumber ini, beberapa kasus konflik SARA yang paling mengerikan yang pernah terjadi di negeri ini, antara lain: (1) kasus sentimen etnis di Jakarta yang dipicu akibat krisis moneter 1998. Tragedi ini berujung pada aksi kerusuhan, penjarahan dan pembakaran; (2) konflik Ambon pada tahun 1999. Konflik ini meluluhlantakkan tatanan kerukunan agama di Ambon Manise yang sudah terjalin lama; (3) tragedi Sampit pada tahun 2001 yang cukup mengerikan; (4) aksi penyerangan terhadap kelompok Syi’ah di Sampang pada tahun 2012 silam.
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik dalam Masyarakat Beragama
Menggunakan kerangka teori sosiologi ala Hendropuspito seperti dikutip dalam sumber ini, ada empat sebab timbulnya konflik tersebut, yaitu: (1) perbedaan doktrin dan sikap mental, (2) perbedaan suku dan ras agama, (3) perbedaan tingkat kebudayaan, dan (4) masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di era media sosial (Medsos), keempat penyebab konflik tersebut semakin cepat meluas karena faktor teknologi informasi dan komunikasi yang didukung dengan jaringan internet. Sebaliknya, melalui smartphone, internet atau media sosial, benih konflik berpotensi cepat dicegah. Pasalnya, dewasa ini pengguna internet dengan mudah bertukar informasi/bekerja sama lewat medsos, seperti Facebook (Fb), WhatsAp (WA), Twitter, Blog, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya.
Bagaimana Cara Merajut Kerukunan Agama Lewat Media Sosial?